Hidup dalam “Tegangan”
Buku
berukuran kecil karangan William Barry dan Robert Doherty ini berisi tentang
bagaimana memperkenalkan landasan spiritual dalam karya Sarekat Jesus. Buku ini
sengaja ditulis untuk memenuhi hasrat para pecinta St. Loyola yang merindukan
sentuhan magis-nya. Buku berisi mengenai gambaran ordo Jesuit hidup di masa
kini yang sarat akan tantangan zaman. Terhadap perubahan dunia yang
mempengaruhi kehidupan manusia zaman ini, sikap yang ditekankan oleh Jesuit
ikut hidup di dalamnya dengan berpegang pada prinsip-prinsip dalam Konstitusi.
Bisa dikatakan bahwa sikap yang diambil Jesuit ini diterapkan dalam wewarah Jawa yang berbunyi, Ngeli
ning ora keli. Mengapa bisa dikatakan begitu?
Lebih
ringkasnya, buku ini menggambarkan bagaimana Jesuit menghidupi spiritualitas
Ignasian dalam karya mereka di tengah “tegangan” dunia ini. Yang dimaksud
dengan tegangan di sini adalah persoalan-persoalan sosial yang ada masyarakat
dunia. Persoalan persoalan ini mempengaruhi bagaimana Jesuit dalam bertindak
menyikapi persoalan itu. Persoalan itu contohnya; Sarekat Jesuit adalah sebuah
ordo dalam susunan hirarki Gereja Katolik, lumrahnya ordo waktu itu adalah
kelompok imam yang berdiam di satu tempat (stabilitas
loci) layaknya pertapaan-pertapaan yang sudah ada. Namun, para Jesuit awal
-Ignatius dkk.- “mematahkan” tradisi sebuah ordo waktu itu. Mereka tidak
mengikatkan diri dengan kehidupan biara. Mereka adalah petualang Kristiani yang
berusaha menyebarkan Injil ke penjuru dunia Contoh lagi situasi kebudayaan
waktu itu, kaum wanita belum memiliki kedudukan yang patut dihormati dalam
masyarakat. Tetapi para Jesuit melayani mereka seperti mereka memberikan
pelayanan umat pada umumnya. Lebih lanjut lagi, dalam buku disebutkan ada tujuh
macam tegangan.
Pertama,
tegangan antara sikap percaya pada Allah dan kemampuan diri sendiri. Tegangan
ini memiliki dua sisi, yakni Jesuit mempercayakan seluruh hidupnya hanya pada
Allah, di sisi lain ia ditantang untuk total menggunakan apa yang ada dalam
dirinya untuk melaksanakan kehendak Allah. Kedua, tegangan antara doa dan
karya. Lewat doa Jesuit berusaha menemukan apa kehendak Allah itu sedangkan
lewat karya ia berusaha melakukan kehendak Allah dengan kepenuhan diri. Ketiga,
tegangan antara persahabatan dan tugas perutusan. Tugas perutusan dimaknai oleh
Jesuit sebagai sarana untuk membuka jalinan persahabatan yang lebih dalam
kendati ia harus berpisah dengan sahabat lamanya. Dengan meninggalkan sahabat
lamanya, Jesuit akan menemukan makna persahabatan yang erat dan ia akan hidup
dengan orang baru dengan misi “penyelamatan jiwa-jiwa”. Keempat, tegangan
antara ketaatan dan nilai belajar dari pengalaman. Tegangan ini adalah wujud
nyata bahwa Jesuit membuka diri dengan lingkungan di mana ia berada. Lebih
dalam lagi, tegangan ini adalah bentuk sikap perjuangan menghadapi tantangan
luar. Kelima, tegangan antara berada di pusat dan di pinggiran Gereja. Tegangan
ini menggambarkan Jesuit yang mengakui kekuasaan Paus atas keberadaannya. Hal
ini mendorong Jesuit untuk tidak hanya berdiam di “dekat” Paus saja, namun
bergerak terlibat dalam karya perutusan murid Yesus. Keenam, tegangan dalam
penggunaan barang-barang duniawi. Tegangan ini secara nyata termuat dalam
Latihan Rohani no. 23 mengenai Asas dan Dasar. Tegangan ini menuntut sikap
lepas bebas seorang Jesuit dalam menggunakan barang yang ada di sekitarnya.
Ketujuh, tegangan dalam penghayatan kemurnian hidup. Tegangan ini adalah sebuah
tantangan seorang Jesuit dalam mengaktualisasikan dirinya di dalam kehidupan
yang serba relatif ini. Akhirnya melalui ketujuh tegangan yang ada dalam hidup
seorang Jesuit ini akan membawanya menemukan Allah dalam segala. Menemukan
Allah dalam segala adalah sebuah hasil permenungan yang dalam Jesuit dalam
pemaknaan karyanya dengan mengandalkan sikap percaya pada kehendak Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar