Jumat, 17 Agustus 2012

The Jesuit Way




 Hidup dalam “Tegangan”

Buku berukuran kecil karangan William Barry dan Robert Doherty ini berisi tentang bagaimana memperkenalkan landasan spiritual dalam karya Sarekat Jesus. Buku ini sengaja ditulis untuk memenuhi hasrat para pecinta St. Loyola yang merindukan sentuhan magis-nya. Buku berisi mengenai gambaran ordo Jesuit hidup di masa kini yang sarat akan tantangan zaman. Terhadap perubahan dunia yang mempengaruhi kehidupan manusia zaman ini, sikap yang ditekankan oleh Jesuit ikut hidup di dalamnya dengan berpegang pada prinsip-prinsip dalam Konstitusi. Bisa dikatakan bahwa sikap yang diambil Jesuit ini diterapkan dalam wewarah Jawa yang berbunyi, Ngeli ning ora keli. Mengapa bisa dikatakan begitu?
Lebih ringkasnya, buku ini menggambarkan bagaimana Jesuit menghidupi spiritualitas Ignasian dalam karya mereka di tengah “tegangan” dunia ini. Yang dimaksud dengan tegangan di sini adalah persoalan-persoalan sosial yang ada masyarakat dunia. Persoalan persoalan ini mempengaruhi bagaimana Jesuit dalam bertindak menyikapi persoalan itu. Persoalan itu contohnya; Sarekat Jesuit adalah sebuah ordo dalam susunan hirarki Gereja Katolik, lumrahnya ordo waktu itu adalah kelompok imam yang berdiam di satu tempat (stabilitas loci) layaknya pertapaan-pertapaan yang sudah ada. Namun, para Jesuit awal -Ignatius dkk.- “mematahkan” tradisi sebuah ordo waktu itu. Mereka tidak mengikatkan diri dengan kehidupan biara. Mereka adalah petualang Kristiani yang berusaha menyebarkan Injil ke penjuru dunia Contoh lagi situasi kebudayaan waktu itu, kaum wanita belum memiliki kedudukan yang patut dihormati dalam masyarakat. Tetapi para Jesuit melayani mereka seperti mereka memberikan pelayanan umat pada umumnya. Lebih lanjut lagi, dalam buku disebutkan ada tujuh macam tegangan.
Pertama, tegangan antara sikap percaya pada Allah dan kemampuan diri sendiri. Tegangan ini memiliki dua sisi, yakni Jesuit mempercayakan seluruh hidupnya hanya pada Allah, di sisi lain ia ditantang untuk total menggunakan apa yang ada dalam dirinya untuk melaksanakan kehendak Allah. Kedua, tegangan antara doa dan karya. Lewat doa Jesuit berusaha menemukan apa kehendak Allah itu sedangkan lewat karya ia berusaha melakukan kehendak Allah dengan kepenuhan diri. Ketiga, tegangan antara persahabatan dan tugas perutusan. Tugas perutusan dimaknai oleh Jesuit sebagai sarana untuk membuka jalinan persahabatan yang lebih dalam kendati ia harus berpisah dengan sahabat lamanya. Dengan meninggalkan sahabat lamanya, Jesuit akan menemukan makna persahabatan yang erat dan ia akan hidup dengan orang baru dengan misi “penyelamatan jiwa-jiwa”. Keempat, tegangan antara ketaatan dan nilai belajar dari pengalaman. Tegangan ini adalah wujud nyata bahwa Jesuit membuka diri dengan lingkungan di mana ia berada. Lebih dalam lagi, tegangan ini adalah bentuk sikap perjuangan menghadapi tantangan luar. Kelima, tegangan antara berada di pusat dan di pinggiran Gereja. Tegangan ini menggambarkan Jesuit yang mengakui kekuasaan Paus atas keberadaannya. Hal ini mendorong Jesuit untuk tidak hanya berdiam di “dekat” Paus saja, namun bergerak terlibat dalam karya perutusan murid Yesus. Keenam, tegangan dalam penggunaan barang-barang duniawi. Tegangan ini secara nyata termuat dalam Latihan Rohani no. 23 mengenai Asas dan Dasar. Tegangan ini menuntut sikap lepas bebas seorang Jesuit dalam menggunakan barang yang ada di sekitarnya. Ketujuh, tegangan dalam penghayatan kemurnian hidup. Tegangan ini adalah sebuah tantangan seorang Jesuit dalam mengaktualisasikan dirinya di dalam kehidupan yang serba relatif ini. Akhirnya melalui ketujuh tegangan yang ada dalam hidup seorang Jesuit ini akan membawanya menemukan Allah dalam segala. Menemukan Allah dalam segala adalah sebuah hasil permenungan yang dalam Jesuit dalam pemaknaan karyanya dengan mengandalkan sikap percaya pada kehendak Allah.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar