“Mengapa
orang miskin semakin miskin,
orang kaya semakin kaya?”
Salah
satu pertanyaan mendasar yang kerap kali kita temui dalam hidup ini adalah,
“Mengapa orang miskin semakin miskin sementara orang kaya semakin kaya?” Umumnya dari berbagai jawaban
yang kita berikan kadangkala
membuat
kita “buta” dalam melihat realita di sekitar kita sehingga kita men-judge bahwa penyebab kesenjangan sosial
itu terletak pada sistem yang ada, atau karena egoisme orang-orang kaya yang
menjadikan orang miskin sebagai ladang kemakmuran. Disadari atau tidak pola
pikir seperti ini -penyebab
orang miskin adalah orang kaya yang tidak mau peduli- ada dalam diri kita. Umumnya
orang beranggapan bahwa orang kaya bisa semakin kaya karena mereka memiliki
modal yang besar, yang memungkinkan mereka memperbesar usaha mereka. Sementara
orang miskin tidak akan maju karena mereka hanya memiliki modal kecil.
Ternyata, pola pikir semacam ini tidaklah benar 100%. Mengapa? Karena ada hal
yang lebih pokok daripada perbedaan jumlah modal antara orang kaya dan orang
miskin. Lalu, apa saja yang menjadi perbedaan antara orang miskin dengan orang
kaya sehingga kehidupan mereka pun berbeda?
Buku
“Rich Dad, Poor Dad” ini hendak menjawab judul di atas. Perbedaan mendasar yang
disampaikan buku ini adalah paradigma. Paradigma yang dipegang seseorang akan
mempengaruhi setiap tindakan, pilihan, motivasi dalam kehidupan kesehariannya.
Dan setiap orang pasti memiliki paradigma yang berbeda satu sama lain, maka
tidak mengherankan bila kesuksesan, pencapaian antara satu orang dengan yang
lain itu berbeda. Dalam kaitannya dengan hal ini, paradigma mengenai uang, harta,
barang-barang mewah antara orang miskin dengan orang kaya sangatlah
bertolakbelakang. Secara ringkas dapat digambarkan bahwa pola pikir yang ada dalam
orang miskin adalah having, sementara
pola pikir orang kaya adalah being. Buku ini menelaah lebih dalam bagaimana pola pikir
seperti itu bisa tumbuh dan mempengaruhi segala aspek kehidupan.
Pola having
dapat digambarkan bahwa orang miskin berkerja
untuk mencari uang. Setelah uang didapat, tindakan mereka selanjutnya
adalah menghabiskan uang itu dengan cara membeli barang-barang yang ingin
mereke beli meskipun barang-barang itu tidak memiliki nilai yang pokok. Orang
miskin itu menginginkan hidupnya menjadi lebih baik, tetapi cara yang mereka
terapkan untuk meraih mimpi itu salah karena mereka beranggapan bahwa dengan
berkerja keras mereka akan mendapatkan uang banyak. Dengan uang yang banyak
mereka beranggapan bahwa itu akan membuat mereka terentaskan dari kemiskinan.
Namun, sekali lagi terjadi kesalahan dalam diri mereka karena hasrat mereka
akan berkata lain sehingga membelanjakan penghasilan mereka tanpa meluangkan
pendapatan mereka untujk ditabung. Karena tidak ada tabungan, mereka akan
bekerja keras lagi sambil berharap akan ada kenaikan gaji. Tetapi tetap saja,
mereka akan menghabiskan penghasilan mereka karena tidak dibekali dengan
kemampuna intelektual keuangan.
Pola being
dapat digambarkan sebagai berikut, orang kaya memiliki kesadaran bahwa uanglah
yang bekerja untuk mereka dan bukan mereka yang bekerja untuk uang. Maka dengan
kemampuan melek finansial yang mereka miliki, mereka memiliki pedoman bahwa
segala yang mereka miliki adalah aset. Maksudnya adalah segala yang
menghasilkan uang ke dalam rekening pribadi, bisa melalui saham, investasi,
bunga, dll. Pendeknya, orang kaya berpikir bagaimana memperlakukan uang supaya
menghasilkan uang yang lebih banyak. Berbeda dengan orang miskin yang
beranggapan bahwa apapun yang mereka miliki adalah liabilitas, yang artinya
segala sesuatu yang menguras kas keuangan pribadi.
Lalu
bagaimana cara mengubah paradigma
mengenai mengelola uang yang benar? Buku ini menawarkan cara yakni
dengan memperdalam kemampuan melek finansial kita dalam mengorganisir keuangan
kita. Melek secara finansial itu amat penting karena dari kemampuan inilah kita
dapat merencanakan, mengelola, memantau uang yang ada dalam rekening pribadi
kita. Setelah melek secara finansial, masih ada hal-hal lain yang perlu
diperhatikan, yakni masalah hambatan yang kerap kali muncul dalam
pelaksanaanya. Hambatan-hambatan itu adalah: ketakutan, yakni sikap takut
kalau-kalau uangnya akan habis. Atau rasa sakit kehilangan uang lebih besar
dibandingkan kegembiraan menjadi kaya. Kebanyakan orang bermimpi menjadi kaya,
tetapi mereka sangat takut kehilangan uang. Kedua, sinisme, yakni sikap
pengecut atau kekhawatiran dalam hidup kita. Sikap khawatir membuat orang ragu
dalam bermain dengan uang sehingga mendorong orang untuk berdiam dalam wilayah aman, menjaga uang tak
keluar satupun. Ketiga, kemalasan, yakni sikap yang menghambat untuk berinovasi
bagaimana cara memperoleh uang. Seringkali orang menghakimi dirinya sendiri,
“Saya tidak dapat membelinya.” Judgement
seperti inilah yang membuat seseorang enggan untuk melihat kemungkinan lain
mendapatkan uang karena menutup diri dari inovasi dan proses kreatif. Keempat,
kebiasaan, artinya seperti kata-kata penyemangat dalam kehidupan sehari-hari
yakni hidup adalah cerminan dari kebiasaan dan lebih daripada pendidikan kita.
Kebiasaan kita mengelola keuangan akan menentukan bagaimana uang bekerja untuk
kita. Kelima, arogan, yakni sikap ego plus dengan kebodohan. Maksudnya
bertindak tanpa pemikiran yang jelas karena hanya menuruti apa yang terjadi
dalam rasa dan bukan berdasarkan rasionalitas.
Dan satu
lagi yang cukup penting dalam membangun melek finansial secara matang yakni
semua ini tergantung dari pilihan yang kita lakukan tiap hari. Dalam buku ini
dijelaskan secara cukup gamblang bagaimana kekuatan pilihan itu akan
mempengaruhi maju-mundurnya usaha kita dalam mengelola keuangan kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar