Jumat, 17 Agustus 2012

Rich Dad, Poor Dad



“Mengapa orang miskin semakin miskin,
 orang kaya semakin kaya?”

                Salah satu pertanyaan mendasar yang kerap kali kita temui dalam hidup ini adalah, “Mengapa orang miskin semakin miskin sementara orang kaya semakin kaya?” Umumnya dari berbagai jawaban yang kita berikan kadangkala membuat kita “buta” dalam melihat realita di sekitar kita sehingga kita men-judge bahwa penyebab kesenjangan sosial itu terletak pada sistem yang ada, atau karena egoisme orang-orang kaya yang menjadikan orang miskin sebagai ladang kemakmuran. Disadari atau tidak pola pikir seperti ini -penyebab orang miskin adalah orang kaya yang tidak mau peduli- ada dalam diri kita. Umumnya orang beranggapan bahwa orang kaya bisa semakin kaya karena mereka memiliki modal yang besar, yang memungkinkan mereka memperbesar usaha mereka. Sementara orang miskin tidak akan maju karena mereka hanya memiliki modal kecil. Ternyata, pola pikir semacam ini tidaklah benar 100%. Mengapa? Karena ada hal yang lebih pokok daripada perbedaan jumlah modal antara orang kaya dan orang miskin. Lalu, apa saja yang menjadi perbedaan antara orang miskin dengan orang kaya sehingga kehidupan mereka pun berbeda?
                Buku “Rich Dad, Poor Dad” ini hendak menjawab judul di atas. Perbedaan mendasar yang disampaikan buku ini adalah paradigma. Paradigma yang dipegang seseorang akan mempengaruhi setiap tindakan, pilihan, motivasi dalam kehidupan kesehariannya. Dan setiap orang pasti memiliki paradigma yang berbeda satu sama lain, maka tidak mengherankan bila kesuksesan, pencapaian antara satu orang dengan yang lain itu berbeda. Dalam kaitannya dengan hal ini, paradigma mengenai uang, harta, barang-barang mewah antara orang miskin dengan orang kaya sangatlah bertolakbelakang. Secara ringkas dapat digambarkan bahwa pola pikir yang ada dalam orang miskin adalah having, sementara pola pikir orang kaya adalah being. Buku ini menelaah lebih dalam bagaimana pola pikir seperti itu bisa tumbuh dan mempengaruhi segala aspek kehidupan.
Pola having dapat digambarkan bahwa orang miskin berkerja  untuk mencari uang. Setelah uang didapat, tindakan mereka selanjutnya adalah menghabiskan uang itu dengan cara membeli barang-barang yang ingin mereke beli meskipun barang-barang itu tidak memiliki nilai yang pokok. Orang miskin itu menginginkan hidupnya menjadi lebih baik, tetapi cara yang mereka terapkan untuk meraih mimpi itu salah karena mereka beranggapan bahwa dengan berkerja keras mereka akan mendapatkan uang banyak. Dengan uang yang banyak mereka beranggapan bahwa itu akan membuat mereka terentaskan dari kemiskinan. Namun, sekali lagi terjadi kesalahan dalam diri mereka karena hasrat mereka akan berkata lain sehingga membelanjakan penghasilan mereka tanpa meluangkan pendapatan mereka untujk ditabung. Karena tidak ada tabungan, mereka akan bekerja keras lagi sambil berharap akan ada kenaikan gaji. Tetapi tetap saja, mereka akan menghabiskan penghasilan mereka karena tidak dibekali dengan kemampuna intelektual keuangan.
Pola being dapat digambarkan sebagai berikut, orang kaya memiliki kesadaran bahwa uanglah yang bekerja untuk mereka dan bukan mereka yang bekerja untuk uang. Maka dengan kemampuan melek finansial yang mereka miliki, mereka memiliki pedoman bahwa segala yang mereka miliki adalah aset. Maksudnya adalah segala yang menghasilkan uang ke dalam rekening pribadi, bisa melalui saham, investasi, bunga, dll. Pendeknya, orang kaya berpikir bagaimana memperlakukan uang supaya menghasilkan uang yang lebih banyak. Berbeda dengan orang miskin yang beranggapan bahwa apapun yang mereka miliki adalah liabilitas, yang artinya segala sesuatu yang menguras kas keuangan pribadi.
Lalu bagaimana cara mengubah paradigma  mengenai mengelola uang yang benar? Buku ini menawarkan cara yakni dengan memperdalam kemampuan melek finansial kita dalam mengorganisir keuangan kita. Melek secara finansial itu amat penting karena dari kemampuan inilah kita dapat merencanakan, mengelola, memantau uang yang ada dalam rekening pribadi kita. Setelah melek secara finansial, masih ada hal-hal lain yang perlu diperhatikan, yakni masalah hambatan yang kerap kali muncul dalam pelaksanaanya. Hambatan-hambatan itu adalah: ketakutan, yakni sikap takut kalau-kalau uangnya akan habis. Atau rasa sakit kehilangan uang lebih besar dibandingkan kegembiraan menjadi kaya. Kebanyakan orang bermimpi menjadi kaya, tetapi mereka sangat takut kehilangan uang. Kedua, sinisme, yakni sikap pengecut atau kekhawatiran dalam hidup kita. Sikap khawatir membuat orang ragu dalam bermain dengan uang sehingga mendorong orang untuk  berdiam dalam wilayah aman, menjaga uang tak keluar satupun. Ketiga, kemalasan, yakni sikap yang menghambat untuk berinovasi bagaimana cara memperoleh uang. Seringkali orang menghakimi dirinya sendiri, “Saya tidak dapat membelinya.” Judgement seperti inilah yang membuat seseorang enggan untuk melihat kemungkinan lain mendapatkan uang karena menutup diri dari inovasi dan proses kreatif. Keempat, kebiasaan, artinya seperti kata-kata penyemangat dalam kehidupan sehari-hari yakni hidup adalah cerminan dari kebiasaan dan lebih daripada pendidikan kita. Kebiasaan kita mengelola keuangan akan menentukan bagaimana uang bekerja untuk kita. Kelima, arogan, yakni sikap ego plus dengan kebodohan. Maksudnya bertindak tanpa pemikiran yang jelas karena hanya menuruti apa yang terjadi dalam rasa dan bukan berdasarkan rasionalitas.
Dan satu lagi yang cukup penting dalam membangun melek finansial secara matang yakni semua ini tergantung dari pilihan yang kita lakukan tiap hari. Dalam buku ini dijelaskan secara cukup gamblang bagaimana kekuatan pilihan itu akan mempengaruhi maju-mundurnya usaha kita dalam mengelola keuangan kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar