Jumat, 24 Agustus 2012

Terima kasih Mbokdhe Ngajiyo


Mbokdhe Ngajiyo. Ia adalah tetanggaku. Jarak rumahnya dengan rumahku sekitar 50 meter. Umurnya kurang lebih 65 tahunan. Ia memiliki 8 orang anak, yang paling besar umurnya sekitar 40 tahunan dan yang paling kecil masih kelas 3 SMA. Pekerjaaan Mbokdhe Ngajiyo ini menjualkan barang-barang tetangga sekitarnya ke pasar Bantul, entah itu kelapa, pisang, daun pisang, ketela dan segala macam barang yang layak untuk dijual. Selain itu, kadang tetanggaku yang lain yang sedang punya hajatan, seperti selametan, kenduri memesan barang-barang kebutuhan untuk hajatan itu pada Mbokdhe Ngajiyo untuk dibelikan di pasar. Dulu, barang dagangan utama Mbokdhe Ngajiyo adalah kelapa, maka dia sering dijuluki Mbah Ngajiyo bakul kambil (penjual kelapa). Setiap jam 4 pagi, mbokdhe Ngajiyo sudah bersiap-siap untuk ke pasar menjual barang titipan tetangganya. Dengan menggunakan sepeda onthel yang dipasangi kronjot atau krondho (sejenis tempat barang yang terbuat dari bambu dan dipasang di boncengan sepeda), mbokdhe Ngajiyo berangkat ke pasar yang berjarak kurang lebih 5 km dari rumahnya. Dulu sebelum gempa bumi melanda Jogja, mbokdhe Ngajiyo berangkat ke pasar bersama suaminya. Tapi semenjak gempa itu, suaminya jarang menemaninya dan digantikan oleh anaknya yang laki-laki. Ketika aku kecil, aku pernah ikut berjualan dengan Mbokdhe Ngajiyo di pasar, hanya untuk melihatnya saja, apa yang dilakukannya ketika berjualan.
Rumah mbokdhe Ngajiyo ini sangatlah sederhana, tak berukuran luas tapi cukup untuk menampung keluarganya, bahkan ada beberapa anaknya yang tidur bersama, karena keterbatasan tempat. Kasur pun tak ada. Mereka hanya menggunakan dipan yang dilapisi dengan bagor  atau tidur langsung langsung di lantai dengan menggunakan tikar, perabot rumahnya pun sangat sederhana, tak ada hiasan yang terpajang di tembok rumahnya. Sungguh kehidupan mereka amat sangat sederhana. Cara memasaknya pun masih menggunakan kayu bakar, memang ada juga sih kompor gas bantuan pemerintah, tapi keluarga mbokdhe Ngajiyo lebih memilih untuk menggunakan keren (tempat perapian yang terbuat dari tanah liat). Untunglah mereka sudah memiliki kompa air, jadi sudah tidak perlu bersusah payah menimba air di sumur untuk keperluan mandi, memasak dan sebagainya.
Aku sering main ke rumah mbokdhe Ngajiyo ini, entah ngobrol dengan anak-anaknya ataupun dengan mbokdhe Ngajiyo sendiri. Keluarga mbokdhe Ngajiyo ini begitu polos ketika diajak ngobrol dan dari situlah aku menemukan kehangatan yang ada dalam keluarganya. Meskipun keluarga mbokdhe Ngajiyo ini tidaklah memiliki latarbelakang ekonomi yang berkecukupan, mereka mengajariku tentang makna perjuangan hidup. Ya, aku tak bisa membayangkan bagaimana kerja keras mbokdhe Ngajiyo ini untuk menghidupi keluarga besarnya. Apalagi dengan kondisi fisik yang sudah tidak muda lagi, pasti itu adalah perjuangan yang teramat berat. Namun di balik fisiknya sebagai seorang wanita, mbokdhe Ngajiyo memiliki daya semangat hidup yang tak seorangpun bisa menyainginnya. Tanggug jawab yang dimilikinya sungguh patut diteladani. Ia tak pernah mengeluh setiap hari harus bersusah-payang mengayuh sepede onthelnya dengan barang daganganya yang ada di boncengan sepedanya. Tak peduli udara dingin yang menerpanya setiap pagi, ia tetap berjuang untuk keluarganya. Sungguh perjuangan dan pengorbanan seorang ibu, orang tua yang ikhlas untuk keluarganya. Sampai saat ini, mbokdhe Ngajiyo masih setia dengan pekerjaanya, mengayuh sepeda miliknya dan membawa kedamaian untuk keluarganya.
Kadang, aku merasa malu dengan diriku sendiri. Kenapa? Aku memiliki kemampuan yang lebih dari cukup tapi kadang aku tak bisa mensyukuri, sementara mbokdhe Ngajiyo yang hidupnya sederhana bisa mensyukuri segala anugerah yang ada dalam hidupnya. Begitu piciknya aku ketika aku menyadari bahwa aku ingin ini, ingin itu tapi mata hatiku buta untuk melihat apa yang sudah aku miliki, selalu saja sifat dasar sebagai seorang manusia yang menginginkan lebih membujuk dan merayuku. Bersyukur, itulah kata yang belum banyak aku temui dalam hidupku dan dari kehidupan mbokdhe Ngajiyo ini, aku belajar banyak tentang perjuangan hidup, tentang rasa syukur terhadap hidup, tentang kesetiaan menjalani hidup dan tentang arti hidup itu sendiri. Hidup bagaimanapun juga memberikan begitu banyak pilihan kepada kita. Dan kita pun bebas menentukan apa yang menjadi pilihan atas hidup kita, tetapi ada juga orang-orang yang tidak memilih hidup untuk dirinya sendiri sehingga hidupnya pun menjadi terombang-ambingkan oleh pilihan orang lain. Terlepas dari itu, pilihan hidup yang kita ambil tidaklah berarti apa-apa jika kita tak bisa menghidupi pilihan itu. Ketika kita memilih hidup yang akan kita jalani, itu membawa konsekuensi apa yang akan kita lakukan untuk menyeleraskan antara pilihan hidup kita dengan kenyataan yang kita alami. Memang ada begitu banyak masalah yang timbul seiring perjalanan kita menempuh hidup. Tapi di situlah, makna perjuangan hidup, integritas hidup, kepercayaan hidup semakin tumbuh dan berkembang jika kita mau menghadapinya. Aku lebih suka menyebut hidup bukan tentang menang-kalah tetapi hidup adalah tentang bagaimana kita berjuang menghidupi kehidupan kita apapun situasinya. Semoga kita semakin setia dengan pilihan hidup kita dan mampu untuk berjuang dalam segala keterbatasan diri kita demi mendapatkan apa yang kita yakini dalam hidup ini. Ingatlah bahwa kita tidak sendirian dalam peziarahan hidup ini, ada Dia yang selalu menyertai.

Bantul, 24 Agustus 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar