Mbokdhe Ngajiyo.
Ia adalah tetanggaku. Jarak rumahnya dengan rumahku sekitar 50 meter. Umurnya kurang
lebih 65 tahunan. Ia memiliki 8 orang anak, yang paling besar umurnya sekitar
40 tahunan dan yang paling kecil masih kelas 3 SMA. Pekerjaaan Mbokdhe Ngajiyo
ini menjualkan barang-barang tetangga sekitarnya ke pasar Bantul, entah itu
kelapa, pisang, daun pisang, ketela dan segala macam barang yang layak untuk
dijual. Selain itu, kadang tetanggaku yang lain yang sedang punya hajatan,
seperti selametan, kenduri memesan barang-barang kebutuhan untuk hajatan itu
pada Mbokdhe Ngajiyo untuk dibelikan di pasar. Dulu, barang dagangan utama
Mbokdhe Ngajiyo adalah kelapa, maka dia sering dijuluki Mbah Ngajiyo bakul kambil (penjual kelapa). Setiap
jam 4 pagi, mbokdhe Ngajiyo sudah bersiap-siap untuk ke pasar menjual barang
titipan tetangganya. Dengan menggunakan sepeda onthel yang dipasangi kronjot atau krondho (sejenis tempat barang yang terbuat dari bambu dan dipasang
di boncengan sepeda), mbokdhe Ngajiyo berangkat ke pasar yang berjarak kurang
lebih 5 km dari rumahnya. Dulu sebelum gempa bumi melanda Jogja, mbokdhe
Ngajiyo berangkat ke pasar bersama suaminya. Tapi semenjak gempa itu, suaminya
jarang menemaninya dan digantikan oleh anaknya yang laki-laki. Ketika aku
kecil, aku pernah ikut berjualan dengan Mbokdhe Ngajiyo di pasar, hanya untuk
melihatnya saja, apa yang dilakukannya ketika berjualan.
Rumah mbokdhe
Ngajiyo ini sangatlah sederhana, tak berukuran luas tapi cukup untuk menampung
keluarganya, bahkan ada beberapa anaknya yang tidur bersama, karena
keterbatasan tempat. Kasur pun tak ada. Mereka hanya menggunakan dipan yang
dilapisi dengan bagor atau tidur langsung langsung di lantai dengan
menggunakan tikar, perabot rumahnya pun sangat sederhana, tak ada hiasan yang
terpajang di tembok rumahnya. Sungguh kehidupan mereka amat sangat sederhana. Cara
memasaknya pun masih menggunakan kayu bakar, memang ada juga sih kompor gas
bantuan pemerintah, tapi keluarga mbokdhe Ngajiyo lebih memilih untuk
menggunakan keren (tempat perapian
yang terbuat dari tanah liat). Untunglah mereka sudah memiliki kompa air, jadi
sudah tidak perlu bersusah payah menimba air di sumur untuk keperluan mandi,
memasak dan sebagainya.
Aku sering main
ke rumah mbokdhe Ngajiyo ini, entah ngobrol dengan anak-anaknya ataupun dengan
mbokdhe Ngajiyo sendiri. Keluarga mbokdhe Ngajiyo ini begitu polos ketika
diajak ngobrol dan dari situlah aku menemukan kehangatan yang ada dalam
keluarganya. Meskipun keluarga mbokdhe Ngajiyo ini tidaklah memiliki latarbelakang
ekonomi yang berkecukupan, mereka mengajariku tentang makna perjuangan hidup. Ya,
aku tak bisa membayangkan bagaimana kerja keras mbokdhe Ngajiyo ini untuk
menghidupi keluarga besarnya. Apalagi dengan kondisi fisik yang sudah tidak
muda lagi, pasti itu adalah perjuangan yang teramat berat. Namun di balik
fisiknya sebagai seorang wanita, mbokdhe Ngajiyo memiliki daya semangat hidup
yang tak seorangpun bisa menyainginnya. Tanggug jawab yang dimilikinya sungguh
patut diteladani. Ia tak pernah mengeluh setiap hari harus bersusah-payang
mengayuh sepede onthelnya dengan barang daganganya yang ada di boncengan
sepedanya. Tak peduli udara dingin yang menerpanya setiap pagi, ia tetap berjuang
untuk keluarganya. Sungguh perjuangan dan pengorbanan seorang ibu, orang tua
yang ikhlas untuk keluarganya. Sampai saat ini, mbokdhe Ngajiyo masih setia
dengan pekerjaanya, mengayuh sepeda miliknya dan membawa kedamaian untuk
keluarganya.
Kadang, aku
merasa malu dengan diriku sendiri. Kenapa? Aku memiliki kemampuan yang lebih
dari cukup tapi kadang aku tak bisa mensyukuri, sementara mbokdhe Ngajiyo yang
hidupnya sederhana bisa mensyukuri segala anugerah yang ada dalam hidupnya. Begitu
piciknya aku ketika aku menyadari bahwa aku ingin ini, ingin itu tapi mata
hatiku buta untuk melihat apa yang sudah aku miliki, selalu saja sifat dasar
sebagai seorang manusia yang menginginkan lebih membujuk dan merayuku. Bersyukur,
itulah kata yang belum banyak aku temui dalam hidupku dan dari kehidupan mbokdhe
Ngajiyo ini, aku belajar banyak tentang perjuangan hidup, tentang rasa syukur
terhadap hidup, tentang kesetiaan menjalani hidup dan tentang arti hidup itu
sendiri. Hidup bagaimanapun juga memberikan begitu banyak pilihan kepada kita. Dan
kita pun bebas menentukan apa yang menjadi pilihan atas hidup kita, tetapi ada
juga orang-orang yang tidak memilih hidup untuk dirinya sendiri sehingga
hidupnya pun menjadi terombang-ambingkan oleh pilihan orang lain. Terlepas dari
itu, pilihan hidup yang kita ambil tidaklah berarti apa-apa jika kita tak bisa
menghidupi pilihan itu. Ketika kita memilih hidup yang akan kita jalani, itu
membawa konsekuensi apa yang akan kita lakukan untuk menyeleraskan antara
pilihan hidup kita dengan kenyataan yang kita alami. Memang ada begitu banyak
masalah yang timbul seiring perjalanan kita menempuh hidup. Tapi di situlah,
makna perjuangan hidup, integritas hidup, kepercayaan hidup semakin tumbuh dan
berkembang jika kita mau menghadapinya. Aku lebih suka menyebut hidup bukan
tentang menang-kalah tetapi hidup adalah tentang bagaimana kita berjuang
menghidupi kehidupan kita apapun situasinya. Semoga kita semakin setia dengan
pilihan hidup kita dan mampu untuk berjuang dalam segala keterbatasan diri kita
demi mendapatkan apa yang kita yakini dalam hidup ini. Ingatlah bahwa kita
tidak sendirian dalam peziarahan hidup ini, ada Dia yang selalu menyertai.
Bantul, 24 Agustus 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar