Ada
seorang tuan rumah yang menyukai bunga anggrek. Saat hendak pergi
berkelana, ia berpesan kepada bawahannya untuk merawat dengan hati-hati
pohon anggreknya.
Selama kepergiannya, bawahannya dengan teliti
merawat bunga-bunga anggrek tersebut. Namun, suatu hari ketika ia
sedang menyirami bunga anggrek, tanpa sengaja ia menyenggol rak-rak
pohon sehingga semua pot anggrek berjatuhan. Pot anggrek itu pecah
berantakan dan bunga anggrek pun berserakan.
Para bawahannya ketakutan, menunggu tuannya pulang dan meminta maaf
sambil menunggu hukuman yang akan mereka terima. Setelah sang tuan
pulang, ketika mendengar kabar itu, ia lalu memanggil bawahannya. Ia
tidak marah kepada mereka, bahkan berkata, “Saya menanam bunga anggrek,
alasan pertama adalah untuk dipersembahkan kepada orang yang suka
melihatnya dan yang kedua adalah untuk memperindah lingkungan di daerah
ini, bukan untuk marah saya menanam pohon anggrek ini.”
Perkataan tuan ini sungguh benar, “Bukan demi marah menanam pohon anggrek.”
Ia bisa demikian toleran, karena walaupun menyukai bunga anggrek,
tetapi di hatinya tidak ada rasa keterikatan terhadap bunga anggrek.
Oleh sebab itu ketika dia kehilangan bunga-bunga anggrek tersebut, tidak
menimbulkan kemarahan dalam hatinya.
Dalam kehidupan kita,
kita terlalu sering banyak kekhawatiran, terlalu peduli pada kehilangan,
hingga menyebabkan keadaan emosi tidak stabil. Kita merasa tidak
bahagia. Maka seandainya kita sedang marah, kita bisa berpikir sejenak:
Bukan demi marah menjadi sahabat.
Bukan demi marah menjadi suami istri.
Bukan demi marah melahirkan dan mendidik anak.
Bukan demi marah menjadi atasan dan pemimpin.
Bukan demi marah menjadi sakit dan tidak berdaya.
Maka kita bisa mencairkan rasa marah dan kesusahan yang ada dalam hati kita dan mengubahnya menjadi rasa damai.
Kini, saat emosi kita tinggi dan hendak bertengkar (dengan siapa pun
juga), ingatlah perjumpaan kita di dunia, bukan untuk marah.
sumber : intisari-online.com