Sabtu, 22 Desember 2012

Puisi: Tak Sempat Berpamitan

Hujan akhirnya datang.
Kepada awan, tak sempat ia berpamitan.
Sekedar cium tangan, pipi kiri dan kanan pun ia enggan.
Hujan melesat meninggalkan awan.
Berlari jatuh ke bumi, lalu bersembunyi di balik tanah.

Ia tak mati.
Matanya masih terjaga.
Kakinya pun masih lincah,
meluncur di sela-sela akar tanah.
Hatinya pun masih "berasa".
Hanya saja tak tahu, kepada siapa ia harus berkata rasa.

Dihimpit rumput dan lumut ia beringsut.
Ia menatap ke angkasa jagat raya.
"Andai saja waktu itu aku tak tergesa,
pasti aku masih di sana."katanya lirih.
Sesal.

bersiap-siap pergi, 20:08




Rabu, 19 Desember 2012

Puisi: Intrik Hujan

..malam ini, sang bulan tersenyum muram di selaput awan..
..remang menyala, ia menyapa malam..
..terlalu lama, ia tak bersua dengan sahabatnya karena ada hujan yang menyela..
..kadang ia menangisi rindunya pada malam yang tak tersampaikan karena hujan..
..dan ia menitipkan air matanya pada hujan..
..jatuh ke tanah untuk memeluk malam..
..tak sehangat saat bersamanya, kali ini malam harus menahan dinginnya hujan yang membawa kerinduan bulan..

..rupanya hujan tertawan malam, ia lupa menyampaikan titipan rindu sang bulan untuk malam.. 
..malam telah memikat hujan dan hujan mengkhianati kesetiaan bulan pada malam..
..beranjak pagi, hujan lelah dan ia bersiap pulang, berpura-pura ceria pada sang bulan.. 
..bulan tak tahu bahwa hujan telah merebut malam dan sekarang tak kan ada sinar remangnya menemani malam..

..rupanya pagi sudah tiba..

Sleman, 19122012
terinspirasi tatapan bulan malam ini

Rabu, 12 Desember 2012

Di Perempatan Klodran, Pagi Ini


Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengar. Mat 11:15

Traffic light menyala merah. Aku berhenti  paling depan di perempatan Klodran. Sejenak aku mengamati keadaan di sekitarku. Dari depan datang seorang penjual Koran, lelaki paruh baya, berumur sekitar 50-an tahun. Ia memarkir sepeda jengkinya di pinggir jalan, dekat penyangga lampu traffic light dan ia segera menjajakan setumpuk Koran yang dibawanya. Dari arah kanan, lewatlah seorang nenek menggendong tenggok menyeberang jalan melintasi zebra cross. Jalannya tak terburu-buru namun langkah kakinya pasti, menapak setiap jengkal aspal di bawah. Dari jalan sebelah kanan, rupanya traffic light sudah menyala hijau. Sejumlah motor yang dikendarai para pekerja mulai bergerak maju ke depan, hanya ada sedikit mobil yang ikut berjalan. Mereka, para pekerja itu segera memacu motornya, berharap tak telat sampai di tempat kerjanya.

Setiap orang perlu untuk bergerak. Tak diam. Apa yang membuatnya bergerak? pekerjaan?  tugas? uang? hidup? atau apa? Apapun alasan dan motivasinya pastilah membutuhkan gerak. Tak ada yang tak membutuhkan gerak. Orang memimpikan memilik rumah, mobil, pekerjaan. Itu berarti ia perlu bergerak. Seorang mahasiswa memimpikan nilai ujian yang terbaik dan prestasi yang baik pula, itu berarti ia perlu bergerak juga. Seorang anak kecil menginginkan jajanan, es krim, itu artinya ia perlu bergerak juga untuk meminta pada orang tuanya. Semua orang memang butuh gerak. Hanya saja, kadang mereka tak tahu harus bergerak seperti apa dan bagaimana caranya. Bingung, tak tahu caranya lalu akhirnya menggerutu, meratapi hidup seolah hidup tak berpihak dan akhirnya menyalahkan hidup dan Tuhannya.

Sebenarnya sangatlah simple utk tidak terperangkap dalam keadaan bingung harus berbuat apa. Saran saya cukuplah, “Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengar.” Ya, Mendengar. Itulah jalan keluarnya. Dengar suara hati, dengarkan dia berkata apa. Dalam kondisi sesulit apapun, suara hati pasti mengeluarkan perkataannya. Dan suara yang keluar itulah yang akan menuntun kita harus bergerak seperti apa, layaknya penjual Koran, seorang nenek yang menyebrang jalan, atau para pekerja yang memacu motornya seperti yang saya lihat di perempatan jalan pagi ini.

Jumat, 07 Desember 2012

Budaya Jawa: Sikap Feodalistik Orang Jawa


Corak sikap feodalistik terlihat jelas dalam struktur sosial masyarakat dalam bentuk kerajaan. Sebagai contoh adalah kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Surakarta. Seorang raja akan dihormati layaknya “Tuhan”. Maka tidak mengherankan bila ada istilah sabda pandhita ratu yang artinya adalah sabda raja adalah sabda yang mengandung kuasa dari Tuhan. Selain di kota Yogya dan Sala ini, terdapat pula pusat-pusat feodalisme di kota-kota kabupaten semasa Hindia Belanda yang mana sang bupati memerintah sebagai semacam raja dan oleh rakyat biasa disebut ndara kanjeng.
Feodalisme tidak lain adalah suatu mental attitude, yakni sikap mental terhadap sesama dengan mengadakan sikap khusus karena adanya pembedaan dalam usia atau kedudukan[1]. Bahasa dan budaya berada dalam sentral perilaku. Misalnya saja dalam bertutur kata dengan orang yang lebih tua usianya, orang Jawa akan menggunakan kata-kata yang lebih halus dan sopan daripada ketika ia berbicara dengan teman sebayanya atau dengan orang yang lebih muda. Ketika orang Jawa hendak melewati jalan atau ruangan yang penuh sesak di mana kebetulan paman atau atasannya sedang duduk, orang Jawa tidak akan berani lewat begitu saja. Secara otomatis, ia akan membungkukkan badannya sebagai tanda hormat dan tersenyum sambil mengisyarakatkan dengan tangan kanannya bahwa ia akan ingin lewat. Secara mental, orang Jawa dibebani oleh tradisi dan tata krama yang sudah turun-temurun. Beban ini akan terasa lebih berat dalam hubungan pekerjaan. Seorang bawahan Jawa tidak pernah mengatakan tidak di hadapan atasannya. Ia akan menyatakan sikap penolakannya dengan senyuman secara halus dengan maksud supaya tidak mengecewakan dan tidak menyakiti perasaan pihak yang menawari permintaan itu.
Inggih (ya) di lingkungan kraton belum tentu berarti ya dalam kenyataannya. Sikap semacam ini disebabkan kata boten ( tidak ) tidak ada dalam tata pergaulan masyarakat Jawa, lebih-lebih dalam lingkup pemerintahan. Orang Jawa tidak mengenal bantahan dan hanya mengenal persetujuan dalam konteks ini. Ya berarti tidak dan tidak yang diucapkan dengan ragu-ragu bisa berarti ya. Tidak pernah bisa didapatkan kepastian dalam jawaban seorang manusia Jawa. Kepastian jawaban baru bisa didapatkan setelah beberapa hari kemudian. Dengan dilaksanakannya perintah berarti jawaban yang diberikan adalah ya dan dengan tidak dijalankannya perintah berarti jawabannya adalah tidak.
Kehidupan yang feodalistik akan memunculkan gejala sosial yang biasa disebut penggerutuan. Gejala penggurutuan timbul sebagai akibat dipendamnya keterbukaan oleh orang Jawa. Karena takut untuk mengutarakan maksud yang sebenarnya, orang Jawa akan menyimpan maksudnya dan biasanya dimanifestasikan lewat tindakan menggerutu. Harus diakui bahwa penggerutuan pada dasarnya adalah semacam gossip, gunjingan, dan termasuk juga dalam budaya ngrasani (bicara di belakang). Gejala penggerutuan ini akan melekat dalam diri manusia Jawa selama kehidupan yang feodalistik masih dihidupinya.
Seorang manusia Jawa yang kedudukannya rendah selalu akan berusaha untuk menyenangkan orang yang mempunyai kedudukan lebih tinggi dari yang dijabatnya. Dengan membuat senang atasan, ada harapan untuk mengamankan posisinya atau terkabulnya suatu permohonan tertentu. Perbuatan semacam ini sebenarnya merupakan perbuatan biasa dan manusiawi yang dilakukan oleh orang-orang di dunia ini.
Bagi orang Jawa yang tidak bisa melakukan perbuatan ini ada falsafah Jawa yang akan memberinya “obat” luka hati. Sebuah falsafah Jawa berbunyi,” Tinimbang sing edan luwih becik sing eling” ( daripada yang gila, lebih baik yang sadar ). Orang Jawa merasa puas karena terobati laranya dengan kata-kata bijak ini. Kepuasan batin yang ia dapatkan adalah ia tetap sadar akan hal yang baik dan hal yang buruk di zaman edan ini dan ia tidak terseret dalam kegilaan itu.



[1]Hardjowirogo, Marbangun. 1989 Manusia Jawa .Jakarta: Inti Idayu Press.hal.13
sumber: Endraswara,Suwardi.2003.Falsafah Hidup Jawa. Cakrawala:Yogyakarta 

Budaya Jawa: Njawani dan Tidak Njawani


 
Seringkali orang Jawa golongan tua merasa lebih njawani dibanding generasi muda. Golongan tua merasa lebih taat pada tata cara Jawa, mulai dari cara berpakaian, etika bertamu, cara bicara, dan sebagainya. Mereka selalu berpusat pada nilai kejawaan yang asli. Kedekatan dan kelekatan budaya Jawa dengan golongan tua semakin mendarah daging karena mereka enggan meninggalkan nilai kejawaan dan didorong rasa ingin melestarikan budaya miliknya. Figur golongan tua yang masih memegang teguh tradisi budaya Jawa tidak hanya berasal dari golongan priyayi tetapi juga dari rakyat kecil (biasa).
Berbeda dengan orang Jawa sekarang (modern),  jelas telah terpengaruh nilai-nilai budaya Barat yang dapat (telah) merusak nilai-nilai budaya tradisi yang sudah ada. Kontak antarbudaya satu dengan budaya yang lain akan mempengaruhi kehidupan orang Jawa dan melunturkan tradisi Jawa ke arah lain. Akibatnya adalah sikap hidup orang Jawa masa kini (sedang) mengalami pergeseran. Pergeseran yang sulit untuk dibendung adalah munculnya kembali zaman edan, yang antara lain bercirikan keteraturan terganggu, keamanan dan keadilan menipis, ekonomi sulit, dan tata nilai yang berbenturan satu sama lain.  Zaman inilah yang membuat dunia Jawa mengalami pengikisan atau erosi tradisi secara besar-besaran.
Arus globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan komunikasi yang semakin pesat telah mempengaruhi sikap, cara hidup, dan pola pikir manusia (Jawa). Dampak persinggungan budaya adalah memunculkan korban budaya (Jawa) yang harus menerima, menolak, dan adaptasi. Dan tampaknya istilah adaptasi lebih tepat dalam menghadapi persinggungan budaya ini. Maksudnya adalah pelestarian nilai-nilai budaya bangsa (tradisional) yang selaras dengan kemajuan zaman, bukan sekedar mewarisi, bukan sekedar memelihara, dan  bukan sekedar menyelamatkan melainkan perlu mengarah pada restrukturisasi budaya Jawa atau menata kembali budaya Jawa dengan menyesuaikan perkembangan zaman. Jika tanpa penataan ulang yang sejalan dengan jiwa zaman, generasi muda akan sering mendapat “cap” (dianggap) sudah tidak njawani.
Penilaian tersebut muncul karena didasarkan pada sikap dan perilaku negatif yang mereka lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Menurut masyarakat Jawa pada umumnya, orang yang berperilaku buruk (tidak tahu etika, sopan santun) sering dikatakan ora njawani. Sebagian lagi membuat penilaian dengan mengatakan ora ngerti basa atau  unggah-ungguh. Sebaliknya, orang yang paham berbudaya Jawa secara utuh dinyatakan sebagai orang yang njawani.
Berbagai tuduhan yang menyudutkan generasi muda ini sebenarnya disebabkan oleh perubahan zaman. Pada gilirannya ukuran njawani, durung njawani atau ora njawani justru semakin tidak jelas karena zaman akan terus berubah. Ketidakjelasan ini disebabkan hilangnya titik acuan yang mendasari penilaian arti njawani.  Jelasnya adalah sikap hidup apa dan bagaimana yang dikatakan njawani perlu ditinjau kembali. Berkaitan dengan masalah tersebut dapat dikemukakan salah satu acuan sikap hidup yang dianggap njawani yakni orang njawani akan diwarnai semangat kejawaan dalam sikap dan perilakunya. Mereka masih mampu mempertahankan jati diri kejawaan meskipun dalam keadaan kontak budaya yang dahsyat.
Keluhuran nilai kejawaan orang njawani  akan tumbuh secara alamiah. Perbuatan sehari-hari akan memunculkan aspek-aspek Jawa yang penuh dengan aroma sopan santun. Segala hal yang menyangkut tutur kata, sikap, mimik wajah, tindakan kepada orang lain selalu merepresentasikan kepribadian Jawa. Secara sadar dan otomatis mereka akan melakukan tindakan kejawaan yang hakiki. Akhirnya, sinkronisasi antara hati dan tindakan kejawaan selalu nampak pada orang Jawa yang njawani. Sebaliknya, orang Jawa yang ora njawani sikap dan perilakunya tidak asli Jawa. Orang Jawa tersebut biasanya akan mendapat “ cap merah”  dari orang njawani. Orang njawani juga akan mendapatkan “ cap merah”  dari orang ora njawani sebagai orang yang kolot.
Dengan demikian, kategori njawani dan ora njawani semata-mata menjadi ukuran normatif orang Jawa. Ukuran ini memang tidak tertulis, tetapi berupa sandaran lisan dalam tiap-tiap  komunitas Jawa yang masih dalam proses perkembangan terus-menerus. Karena percampuran budaya sulit untuk dihindarkan, kaidah njawani dan  ora njawani selalu berada dalam penataan dan tidak pernah akan selesai. Namun demikian, orang Jawa masih memegang teguh kriteria njawani sebagai orang Jawa asli dan ora njawani sebagai orang Jawa blasteran ( tidak asli ). Orang Jawa asli merasa lebih berwibawa, berjiwa priyayi, dan taat norma. Sebaliknya, orang Jawa tidak asli telah luntur atau pudar nilai kejawaannya.

sumber: Endraswara,Suwardi.2003.Falsafah Hidup Jawa. Cakrawala:Yogyakarta

Budaya Jawa: Tulisan Jawa

 
          
           Cerita Aji Saka yang mengalahkan Dewatacengkar memiliki hubungan yang mendasari tulisan Jawa. Aji Saka mempunyai dua orang pengiring yang bernama Dora dan Sembada. Sewaktu Aji Saka berada di Medang Kamulan bersama dengan Dora, Sembada masih tinggal di padepokan menjaga keris Aji Saka. Aji Saka berpesan kepada Sembada untuk tidak menyerahkan keris itu kepada siapapun kecuali Aji Saka sendiri yang mengambilnya. Setelah Aji Saka berhasil melaksanakan misinya, ia memberi perintah kepada Dora untuk mengambil keris itu di padepokan. Sesampainya  Dora di padepokan, ia segera menyampaikan pesan kepada Sembada untuk mengambil keris titipan Aji Saka dan mengajak Sembada pergi ke Medang Kamulan. Akan tetapi, Sembada tidak mau memberikan keris itu karena Aji Saka sendirilah yang akan mengambilnya dan ia tahu bahwa Dora sering berbohong. Sembada berjuang mempertahankan keris itu dan Dora juga berjuang meminta keris itu. Pertentangan tidak dapat dielakkan. Awalnya pertentangan masih secara halus lama-kelamaan menjadi adu kedigdayaan. Akhirnya, mereka pun bertarung. Dora ditusuk dengan keris itu oleh Sembada dan karena masih kuat, ia mengambil keris itu, lalu menusukkannya pada Sembada. Akhirnya, keduanya pun mati.
            Setelah sekian lama Dora dan Sembada tidak muncul menghadap, Aji Saka baru teringat akan pesan yang pernah diberikan kepada Sembada sebelum ia berangkat ke Medang Kamulan. Ia pun segera menyusul ke padepokan untuk mencari Dora dan Sembada. Tetapi yang ia dapatkan adalah kepiluan. Ia mendapati Dora dan Sembada sudah mati dan kerisnya tergeletak di antara keduanya. Dengan sedih dan haru, ia mengingat kesetiaan kedua pengiringnya dan terucap kata-kata hanacaraka datasawala padhajayanya magabathanga. Sejak saat itu dan sesuai dengan kata-kata yang diucapkan oleh Aji Saka, terbentuklah susunan huruf dan abjad Jawa. Cerita tersebut diuraikan dalam huruf Jawa seperti berikut.[1]
            Tahap I            : Hana caraka : ana utusan ( ada utusan )
            Tahap II          : Data sawala  : padha suwala ( saling bertengkar )
            Tahap III         : Padha jayanya : padha digdayane (sama saktinya)
            Tahap IV         : Maga bathanga : dadi bathang (menjadi bangkai)
            Masyarakat Jawa yang mengejar kesempurnaan hidup “ngudi kasampurnaning urip” dan mengejar kebijaksanaan “ngudi kawicaksanan”  selalu berorientasi pada lima huruf pertama dalam deretan huruf Jawa. Lima huruf pertama itu maksudnya adalah :
Ha artinya haurip atau urip yang artinya hidup merupakan salah satu sifat Yang Maha Esa.
Na artinya hana atau ana yang artinya adalah ada. Ada alam semesta yaitu kosmologi.
Ca artinya cipta yang artinya adalah pikiran, nalar dan akal.
Ra artinya rasa dan perasaan.
Ka artinya karsa yang artinya kehendak atau kemauan.
Secara singkat arti tersebut dapat disimpulkan bahwa manusia adalah ciptaan Allah yang dalam kodratnya mempunyai cipta, rasa dan karsa. Hanacaraka merupakan suatu kesatuan yang terdiri atas alam semesta, manusia dan Tuhan Yang Maha Esa.

            Tulisan Jawa terdiri atas beberapa unsur yang saling melengkapi. Unsur-unsur tersebut  misalnya aksara Murda untuk menulis kata yang bermakna lebih atau berhubungan dengan ningrat, aksara Rekan untuk mengatasi huruf-huruf abjad nasional, Swara untuk menuliskan kata-kata khusus Pasangan, Sandhangan dan angka Jawa. Tulisan Jawa melukiskan kehidupan dan sikap orang Jawa. Huruf Jawa tetap hidup biarpun dipepet, dipengkal, diwulu, ditarung dan disuku, tetapi huruf Jawa akan mati bila dipangku. Bagi orang non-Jawa yang belum mengenal budaya Jawa akan sulit memahami tulisan tersebut, tetapi akan menjadi paham bila dijelaskan oleh orang Jawa sendiri.

            Makna pernyataan hidup di atas adalah diperlakukan seperti apapun, orang Jawa tetap gembira dan senang, artinya bebas melakukan apapun asal berkehendak baik. Orang Jawa akan mati apabila “dipangku”. Maksud mati di sini adalah bahwa orang Jawa tersebut tidak bebas, merasa tidak enak, rikuh. Orang Jawa akan “mati” apabila dipuji, disanjung, dan dielu-elukan. Jadi, sikap orang Jawa masih memiliki hubungan yang erat dengan tulisan Jawa.



[1] Herusatoto, Budiono.1985.Simbolisme dalam Budaya Jawa.Yogyakarta:PT Hanindita, hal 78

sumber: Endraswara,Suwardi.2003.Falsafah Hidup Jawa. Cakrawala:Yogyakarta