Senin, 20 Agustus 2012

Lihatlah lebih Dekat, maka Kau akan Mengerti


Butuh bertemu dengan diri sendiri untuk memahami kemauan Tuhan. Sampai saat ini pun aku masih bergelut dengan diriku sendiri demi menyelaraskan kehendak/keinginanku dengan apa yang sebenarnya dikehendaki Tuhan. Bagiku Tuhan itu selalu memberiku kesempatan untuk lebih dekat mengenaliNya, meski kadang aku mengedepankan sisi keegoisanku sebagai seorang manusia yang selalu ingin apa yang aku kehendaki bisa terlaksana. Kadang memang keinginanku bertolakbelakang dengan apa yang dimaui Tuhan. Aku minta A Tuhan malah mengasih B, giliran aku minta B Tuhan ngasih C. Ya, itulah hidup, selalu banyak peristiwa yang tidak bisa dicerna dengan mata telanjang, apa adanya. Butuh pemahaman rasa dan pikiran, seperti kisahku ini.

Sampai saat ini aku masih memiliki mimpi terpendam untuk bisa kuliah di jurusan psikologi, meski kenyataanya aku kuliah di jurusan akuntansi. Jika memang aku ingin kuliah di psikologi kenapa aku malah kuliah di akuntansi? Semua berawal ketika aku masih kelas 3 SMA. Menjelang kelulusan, aku menghadapi kenyataan bahwa orang tuaku tak cukup mampu untuk membiayai kuliahku, padahal aku sudah punya cita-cita untuk melanjutkan ke perguruan tinggi jurusan psikologi, tentunya. Aku begitu tertarik untuk masuk psikologi karena ada rasa ketertarikanku untuk mendalami tingkah laku manusia. Masing-masing orang itu berbeda dan pasti punya kepribadian yang unik dan itulah yang membuatku selalu ingin tahu, kenapa manusia bisa bersikap seperti itu atau dalam diri sesosok manusia itu, apa saja yang telah membentuknya. Karena alasan ketertarikan dan sudah terlanjur jatuh cinta itulah aku ingin sekali melanjutkan ke jurusan psikologi. Namun, rupanya kenyataan sedang tak bersahabat denganku waktu itu. Aku terkendala biaya. Di saat seperti itu, yang bisa aku lakukan hanyalah memohon bantuan Tuhan untuk campur tangan dalam hidupku. Tidak ada cara lain selain berdoa dan berserah diri, dan aku percaya bahwa Tuhan pasti akan member jalan keluar apapun keadaanku. Akhirnya, jalan terang itu memang ada. Romo pembimbing rohaniku, membantuku mencarikan seorang donatur yang mau membiayai seluruh biaya kuliahku. Waaow. Bagiku ini adalah sebuah berkat yang tak ternilai harganya. Di saat aku merasa sudah mentok jalan yang akan aku lalui, ternyata Tuhan memberiku jalan tol serasa bebas hambatan. Syukur pada Tuhan.

Aku pun segera mendaftar jurusan psikologi di Universitas Sanata Dharma dan aku diterima di sana. Wuih, mimpiku serasa sudah diambang kenyataan, tinggal melengkapi syarat-syarat yang diajukan aku resmi menjadi mahasiswa Sanata Dharma jurusan psikologi, haha. Tetapi cerita berkata lain. Donaturku menyarankan aku untuk mencoba mendaftar di universitas negeri, UGM. Whaat?!?! Aduh kenapa harus mendaftar di sana juga, toh kan aku sudah diterima di Sadhar? Ingin rasanya aku menolak, tapi apa mau dikata, yang akan membiayai kuliahku nanti kan donaturku, dicoba dulu sajalah, toh aku juga belum pasti diterima di UGM. Begitulah aku menenangkan diri. Segera aku mendaftar di UGM lewat jalur Ujian Tertulis bersama 4 teman sekolahku dan aku pilih jurusan akuntansi, komunikasi lalu psikologi. Dalam hati kecilku, aku berharap semoga aku tidak diterima UGM, ckck contoh pelajar yang pego, di saat pelajar-pelajar lain berebut satu kursi supaya bisa diterima di UGM, aku malah tak menginginkannya. Tapi, itulah kenyataan yang aku alami. Aku sudah terlanjur jatuh cinta di psikologi dan rasanya berat ketika harus meninggalkan jurusan itu. Maka dengan persiapan seadanya, aku ikut tes masuk UGM. Semua soal aku kerjakan dengan kemampuanku seadanya dan aku sudah meyakinkan diri, pasti aku lolos tes masuk ini. Ternyata, kenyataan berbicara lain. Tuhan tak sependapat denganku. Aku lolos tes masuk UGM dan diterima di jurusan akuntansi. Wuaaaa, kok malah lolos sih? Dari 5 orang asal sekolahku, hanya 2 orang yang diterima di UGM, termasuk aku. Harusnya aku senang menerima kenyataan itu, tapi sebaliknya aku malah agak kecewa menerimanya. Kenapa harus aku yang diterima di UGM, kok tidak temanku saja? Aduh Tuhan, aku diterima di psikologi Sadhar saja sudah cukup untukku kenapa Engkau malah memberiku di akuntansi UGM juga? Kamu gak sedang bercanda kan, Tuhan? Bingung, kecewa, sedih, tak karuan itu yang aku rasakan menerima berita aku lolos tes masuk UGM. Dengan terpaksa aku harus melepaskan mimpi yang sudah di depan mata (kuliah psikologi di Sadhar) dan dengan berat hati aku harus kuliah di jurusan akuntansi UGM. Ingin aku protes kepada Tuhan, tapi setelah aku menenangkan diri, mungkin ini memang jalan yang terbaik untukku. Sudah ada donatur yang membiayai kuliahku saja sudah cukup dan aku tidak ingin menambah masalah dengan memprotes keputusan Tuhan. Apalagi bagi keluargaku, ada anggota keluarga yang bisa melanjutkan bangku perkuliahan saja sudah merupakan kemajuan besar, meninggikan derajat keluarga. Aku terima saja, mendapat kesempatan untuk kuliah saja sudah merupakan berkat untukku, tidak perlu ngoyo mengejar mimpi itu. Dan ini adalah bukti, bahwa keinginanku dengan keinginan Tuhan itu berbeda, meski kelihatannya sama.

Singkat kata singkat cerita, aku pun kuliah di UGM, jurusan akuntansi meeen. Kata orang, jurusan ini adalah jurusan yang punya grade/kualitas yang  terbilang bagus  di Indonesia, tapi bagiku tak ada artinya. Buat apa kuliah di universitas ternama kalo tak didasari pilihan hati? Rasanya berat. Semester pertama nilai IP tak baik-baik amat, cukup 2,99. Tuh kan? Aku tak berbakat di jurusan akuntansi. IP 3 aja gak sampe, padahal aku mendapat predikat Magna Cum Laude ketika lulus dari Seminari Mertoyudan (ceritane sombong, haha). Semester kedua aku jalani dengan agak serius karena agak terpaksa memang badanku ada di akuntansi tapi hati dan pikiranku ada di psikologi. Melihat teman-temanku yang begitu sungguh-sungguh ingin meraih nilai yang bagus, aku tak tertarik untuk mengikutinya. Aku hanya mengikuti sungai yang mengalir saja dan tak berusaha untuk mengendalikannya. Ya, berusaha sebisaku saja, toh kalo aku paksakan aku malah takut bisa-bisa aku jadi gila, haha. Di penghujung semester dua, nilai IP ku naik menjadi, 3,31. Wuiih, lumayan ada peningkatan, kataku menghibur diri. Kelihatannya cerita hidupku akan berlangsung mulus, tetapi hidup itu tak semudah yang dibayangkan. Tiba-tiba saja, donaturku menghentikan bantuan dana ketika semester tiga. Aku mencoba mencari kejelasan tapi tak ada hasil. Aku kelimpungan. Bagaimana ini, BOP sebagai syarat mengikuti ujian mid semester dan ujian akhir belum aku bayar, sementara tenggat waktunya sudah mulai habis dan orang tuaku pun tak punya uang dengan segera. Ah Tuhan, kenyataan apalagi ini? Mimpiku kuliah di psikologi telah Kau buyarkan sekarang Kau hadapkan aku pada kenyataan seperti ini. Benar-benar menyulitkan. Dan semester tiga pun harus aku relakan dengan tidak mengikuti ujian karena aku telat membayar BOP. Gagal.

Menghadapi situasi semacam itu, aku tak bisa berpikir dengan tenang. Dan hatiku memainkan peranan yang lebih tinggi. Keinginanku untuk kembali ke jurusan psikologi tumbuh lagi. Aku sudah merencakan untuk keluar dari UGM dan mencoba masuk ke psikologi Sadhar lagi. Mungkin ini memang jalanku untuk kembali mewujudkan mimpiku. Ya, saat itu aku yakin sekali ini adalah jalan Tuhan untuk meraih mimpiku, psikologi. Ternyata oh ternyata, ketika aku menyampaikan keinginanku untuk keluar dan masuk psikologi tak sependapat dengan orang tuaku. Mereka mengharapkan aku tetap melanjutkan kuliah akuntansi apapun keadaannya. Aku menarik napas dengan berat, orang tuaku tak setuju. Aku mencari cara lain supaya bisa pindah ke psikologi. Akhirnya aku menemui romo mantan pembimbing rohaniku dulu, meminta bantuan sapa tau beliau punya kenalan yang mau menjadi donaturku. Usahaku gagal lagi, beliau tak bisa membantuku lagi. Dengan terpaksa aku pun harus mengubur mimpiku lagi dan meneruskan kuliah di akuntansi. Kondisiku sudah amat parah, antara hati, pikiran, raga tidak selaras lagi. Hati dan pikiran ada di psikologi tetapi ragaku ada di akuntansi. Aku tak bisa hidup dengan kondisi seperti itu. Aku menjelma menjadi seorang pemain sandiwara dengan topeng yang maha sempurna. Keluargaku mengira aku masih kuliah di akuntansi, tapi kenyataannya aku tak pernah masuk kuliah. Aku selalu memberikan kabar yang baik tentang kuliahku supaya mereka tidak tahu apa yang terjadi sesungguhnya (baca: berbohong). Aku menjadi orang yang bebal, durhaka, dan aku menjadi orang yang bukan diriku lagi. Aku merasa menjadi orang asing dalam hidupku. 2 tahun aku menjadi seorang bajingan kecil, menyia-nyiakan waktu kuliahku, tak menghargai kepercayaan orang tuaku yang bersusah payah membiayai kuliahku. Aku benar-benar tak punya aturan dan hidupku benar-benar kacau saat itu. Tak tahu apa yang mesti aku lakukan untuk membuat hidupku menjadi lebih baik. Sampai akhirnya, aku tersadar bahwa aku sudah membuang kesempatan yang amat besar dalam hidupku, waktu. Ya, aku harus mengakhiri periode gelap ini. Sudah cukup aku merasakan menjadi seorang penipu, tak tahu diuntung. Apapun kenyataan yang akan aku alami -jika aku menceritakan hidupku yang sesungguhnya- entah aku akan dimarahi habis-habisan, diusir dari keluarga, tak dianggap anak lagi atau kenyataan buruk apapun aku siap menerimanya. Aku harus bertanggungjawab atas tindakanku. Itu sudah resiko. Tapi, semuanya di luar bayangan burukku. Bapak ibuku tidak marah samasekali, mereka hanya sangat menyayangkan kenapa bisa seperti itu, membuang waktu, tenaga, biaya dengan percuma. Yah, aku juga bingung bagaimana harus menjawab, karena saat itu aku juga tak bisa berpikir dengan baik.

Selesai sudah masalah pengakuan diri. Saatnya memikirkan kelanjutan hidupku, mau aku apakan ini? Melanjutkan kuliah di akuntansi atau mencoba mengejar mimpi kuliah di psikologi? Dengan bantuan kakakku, aku dijadikan anak angkat seorang ibu yang baik hati dan kakakku pulalah yang membantuku meraih mimpiku, kuliah psikologi. Aku dikenalkan dengan dekan jurusan psikologi Sanata Dharma dan aku jelaskan pula maksud dan tujuanku, bahwa aku ingin kuliah di sana dan berharap ada beasiswa yang bisa aku dapatkan. Dan ternyata memang ada beasiswa, yang penting aku harus diterima di psikologi Sadhar dulu. Aku pikir saat-saat itu adalah saat mimpiku akan menjadi kenyataan. Aku sudah diterima di psikologi Sadhar lewat jalur tes regular dan kini aku akan mengurus beasiswa itu. Aku sudah yakin bahwa ini mungkin memang jalanku, aku harus melewati jalan yang berliku untuk sampai di mimpiku. Sayang, aku menjadi pesimis mengajukan beasiswa itu karena ada beberapa persyaratan yang tidak bisa aku penuhi dan tidak ada kepastian aku bisa memperoleh beasiswa itu. Wuaaa. Aku harus melepaskan mimpiku lagi?? Tuhan, Tuhan kenapa Engkau seolah-olah bermain denganku? Aku capek Tuhan harus membuang mimpiku lagi. Aku sudah di ambang pintu lalu Kau membuang pintu itu. Aah, cerita apa lagi yang harus aku mainkan ini? Benar-benar kenyataan sulit yang aku dapatkan ini. Satu bukti lagi bahwa kehendak Tuhan itu memang berbeda dengan kehendakku.

Aku lelah bermain dengan Tuhan. Aku capek menghadapi situasi di mana aku tak didukung Tuhan. Dan dalam situasi seperti ini, aku pelan-pelan mencoba mengerti dan memahami, sebenarnya maksud Tuhan itu apa dengan hidupku ini? Sudah dua kali Ia “menggagalkan” mimpiku menjadi kenyataan. Apakah Ia memang mendukungku? Atau sebenarnya Ia hanya ingin terus bermain-main dengan hidupku? Begitu banyak pertanyaan yang muncul di otak dan hatiku. Kenapa aku mengalami kenyataan seperti ini? Hanya kesadaran dan penerimaan yang kemudian mengarahkan aku untuk memahami kehendak Tuhan. Aku sadar tentu Ia punya maksud ketika dulu aku diterima di UGM. Itu pasti, tidak ada yang terjadi kebetulan. Semuanya pasti ada maksud dan tujuannya. Lalu apakah maksud dan tujuan Tuhan untukku? Tuhan pasti tahu apa yang menjadi mimpiku tapi kenyataannya Ia memberikan kesempatan yang bertolakbelakang dengan mimpiku. Aku menjadi sadar bahwa selama ini aku terlalu mengedepankan idealismeku tanpa memperhatikan keadaan yang ada padaku. Aku tak menerima kenyataan yang menjadi hidupku. Bahwa aku menolak apa yang sudah diberikan Tuhan untuk hidupku, padahal Ia memberikan jalan yang baik untukku. Kadang aku memang hidup dalam duniaku sendiri dan melupakan bahwa Tuhan pun sebenarnya ingin selalu bersamaku. Lewat pengalaman yang serba berliku ini, aku menjadi sadar bahwa Ia pun memberiku kesempatan untuk bertemu dengan diriku sendiri. Ia memilih aku untuk mau berjuang meskipun pilihan itu bukanlah pilihanku. Ia hanya memintaku untuk berjuang dan menyerahkan segala sesuatunya tanpa pernah mengeluh. Kalo aku perhatikan, memang aku lebih banyak mengeluh dibandingkan bersyukur dan menerima. Bahwa ada saatnya ketika aku harus mengasingkan diri untuk melihat segala sesuatu lebih dalam, seperti yang aku alami ini. Jika aku mau berserah diri pada Tuhan rasanya hidup akan jauh lebih ringan dan enteng meski semuanya penuh dengan masalah. Tuhan memberiku pengalaman ini, untuk membentukku menjadi pribadi yang kuat, tak gampang menyerah, mau berusaha, dan terutama agar aku lebih percaya lagi kepadaNya. Hidup memang lebih berat dari apa yang bisa aku bayangkan, namun semua tidak ada yang tidak mungkin jika Tuhan mau campur tangan dalam hidupku. Dan itu artinya, aku harus membuka diriku akan kehadiranNya. So, sebenarnya Tuhan mau apa dengan hidupku? Ia hanya ingin aku berusaha dengan segala kemampuanku memperjuangkan apa yang telah diberikanNya untukku. Itu saja. Berusaha, dan berserahdiri. Berusaha menjadi pribadi yang lebih baik dan menyerahkan segala sesuatu pada Tuhan. Dan kini aku pun akan berusaha semampuku untuk menyelesaikan kuliahku di akuntansi, meski aku tak memilih itu, tapi aku percaya Tuhan memang telah memilihku untuk tugas ini. Kalo Dia sendiri yang memilihkan untukku, pasti Dia pula yang akan membantuku untuk menyelesaikan tugas perutusan ini. Meskipun aku sudah membuang waktu dan aku terima bahwa aku pernah memiliki masa lalu yang agak suram, itu bukanlah aku yang sekarang. Aku hidup di masa kini dan siap untuk menyongsong masa depan yang lebih baik. Tak peduli omongan orang, aku hanya ingin berusaha yang terbaik untuk hidupku ini.

Lihatlah lebih dekat, maka kau akan mengerti.
20 Agustus 2012


2 komentar:

  1. Jujur dan penuh penghayatan. Saya punya cerita yang sama meskipun ditempat berbeda,tapi tulisan ini mengingatkan kejadian 5 tahun silam. Dimana pilihan tidaklah penting bagi kita yang harus mampu menghadapi kenyataan. Pengalaman dan kejadian yang diberikan TUHAN tidaklah semata untuk mempermainkan kita,justru sebaliknya karena TUHAN tahu apa yg kita butuhkan. Terimakasih atas inspirasi yang hebat

    BalasHapus
  2. hmm jujur ini membuat saya bingung

    BalasHapus