Butuh bertemu dengan diri sendiri untuk
memahami kemauan Tuhan. Sampai saat ini pun aku masih bergelut dengan diriku
sendiri demi menyelaraskan kehendak/keinginanku dengan apa yang sebenarnya
dikehendaki Tuhan. Bagiku Tuhan itu selalu memberiku kesempatan untuk lebih
dekat mengenaliNya, meski kadang aku mengedepankan sisi keegoisanku sebagai
seorang manusia yang selalu ingin apa yang aku kehendaki bisa terlaksana.
Kadang memang keinginanku bertolakbelakang dengan apa yang dimaui Tuhan. Aku
minta A Tuhan malah mengasih B, giliran aku minta B Tuhan ngasih C. Ya, itulah
hidup, selalu banyak peristiwa yang tidak bisa dicerna dengan mata telanjang,
apa adanya. Butuh pemahaman rasa dan pikiran, seperti kisahku ini.
Sampai saat ini aku masih memiliki mimpi
terpendam untuk bisa kuliah di jurusan psikologi, meski kenyataanya aku kuliah
di jurusan akuntansi. Jika memang aku ingin kuliah di psikologi kenapa aku
malah kuliah di akuntansi? Semua berawal ketika aku masih kelas 3 SMA.
Menjelang kelulusan, aku menghadapi kenyataan bahwa orang tuaku tak cukup mampu
untuk membiayai kuliahku, padahal aku sudah punya cita-cita untuk melanjutkan
ke perguruan tinggi jurusan psikologi, tentunya. Aku begitu tertarik untuk
masuk psikologi karena ada rasa ketertarikanku untuk mendalami tingkah laku
manusia. Masing-masing orang itu berbeda dan pasti punya kepribadian yang unik
dan itulah yang membuatku selalu ingin tahu, kenapa manusia bisa bersikap
seperti itu atau dalam diri sesosok manusia itu, apa saja yang telah
membentuknya. Karena alasan ketertarikan dan sudah terlanjur jatuh cinta itulah
aku ingin sekali melanjutkan ke jurusan psikologi. Namun, rupanya kenyataan
sedang tak bersahabat denganku waktu itu. Aku terkendala biaya. Di saat seperti
itu, yang bisa aku lakukan hanyalah memohon bantuan Tuhan untuk campur tangan
dalam hidupku. Tidak ada cara lain selain berdoa dan berserah diri, dan aku
percaya bahwa Tuhan pasti akan member jalan keluar apapun keadaanku. Akhirnya,
jalan terang itu memang ada. Romo pembimbing rohaniku, membantuku mencarikan
seorang donatur yang mau membiayai seluruh biaya kuliahku. Waaow. Bagiku ini
adalah sebuah berkat yang tak ternilai harganya. Di saat aku merasa sudah
mentok jalan yang akan aku lalui, ternyata Tuhan memberiku jalan tol serasa
bebas hambatan. Syukur pada Tuhan.
Aku pun segera mendaftar jurusan psikologi
di Universitas Sanata Dharma dan aku diterima di sana. Wuih, mimpiku serasa
sudah diambang kenyataan, tinggal melengkapi syarat-syarat yang diajukan aku
resmi menjadi mahasiswa Sanata Dharma jurusan psikologi, haha. Tetapi cerita
berkata lain. Donaturku menyarankan aku untuk mencoba mendaftar di universitas
negeri, UGM. Whaat?!?! Aduh kenapa harus mendaftar di sana juga, toh kan aku
sudah diterima di Sadhar? Ingin rasanya aku menolak, tapi apa mau dikata, yang
akan membiayai kuliahku nanti kan donaturku, dicoba dulu sajalah, toh aku juga
belum pasti diterima di UGM. Begitulah aku menenangkan diri. Segera aku
mendaftar di UGM lewat jalur Ujian Tertulis bersama 4 teman sekolahku dan aku
pilih jurusan akuntansi, komunikasi lalu psikologi. Dalam hati kecilku, aku
berharap semoga aku tidak diterima UGM, ckck contoh pelajar yang pego, di saat
pelajar-pelajar lain berebut satu kursi supaya bisa diterima di UGM, aku malah
tak menginginkannya. Tapi, itulah kenyataan yang aku alami. Aku sudah terlanjur
jatuh cinta di psikologi dan rasanya berat ketika harus meninggalkan jurusan
itu. Maka dengan persiapan seadanya, aku ikut tes masuk UGM. Semua soal aku
kerjakan dengan kemampuanku seadanya dan aku sudah meyakinkan diri, pasti aku
lolos tes masuk ini. Ternyata, kenyataan berbicara lain. Tuhan tak sependapat
denganku. Aku lolos tes masuk UGM dan diterima di jurusan akuntansi. Wuaaaa,
kok malah lolos sih? Dari 5 orang asal sekolahku, hanya 2 orang yang diterima di
UGM, termasuk aku. Harusnya aku senang menerima kenyataan itu, tapi sebaliknya
aku malah agak kecewa menerimanya. Kenapa harus aku yang diterima di UGM, kok
tidak temanku saja? Aduh Tuhan, aku diterima di psikologi Sadhar saja sudah
cukup untukku kenapa Engkau malah memberiku di akuntansi UGM juga? Kamu gak
sedang bercanda kan, Tuhan? Bingung, kecewa, sedih, tak karuan itu yang aku
rasakan menerima berita aku lolos tes masuk UGM. Dengan terpaksa aku harus
melepaskan mimpi yang sudah di depan mata (kuliah psikologi di Sadhar) dan
dengan berat hati aku harus kuliah di jurusan akuntansi UGM. Ingin aku protes
kepada Tuhan, tapi setelah aku menenangkan diri, mungkin ini memang jalan yang
terbaik untukku. Sudah ada donatur yang membiayai kuliahku saja sudah cukup dan
aku tidak ingin menambah masalah dengan memprotes keputusan Tuhan. Apalagi bagi
keluargaku, ada anggota keluarga yang bisa melanjutkan bangku perkuliahan saja
sudah merupakan kemajuan besar, meninggikan derajat keluarga. Aku terima saja,
mendapat kesempatan untuk kuliah saja sudah merupakan berkat untukku, tidak
perlu ngoyo mengejar mimpi itu. Dan ini adalah bukti, bahwa keinginanku dengan
keinginan Tuhan itu berbeda, meski kelihatannya sama.
Singkat kata singkat cerita, aku pun kuliah
di UGM, jurusan akuntansi meeen. Kata orang, jurusan ini adalah jurusan yang punya
grade/kualitas yang terbilang bagus di Indonesia, tapi bagiku tak ada artinya.
Buat apa kuliah di universitas ternama kalo tak didasari pilihan hati? Rasanya
berat. Semester pertama nilai IP tak baik-baik amat, cukup 2,99. Tuh kan? Aku
tak berbakat di jurusan akuntansi. IP 3 aja gak sampe, padahal aku mendapat
predikat Magna Cum Laude ketika lulus dari Seminari Mertoyudan (ceritane
sombong, haha). Semester kedua aku jalani dengan agak serius karena agak
terpaksa memang badanku ada di akuntansi tapi hati dan pikiranku ada di
psikologi. Melihat teman-temanku yang begitu sungguh-sungguh ingin meraih nilai
yang bagus, aku tak tertarik untuk mengikutinya. Aku hanya mengikuti sungai
yang mengalir saja dan tak berusaha untuk mengendalikannya. Ya, berusaha
sebisaku saja, toh kalo aku paksakan aku malah takut bisa-bisa aku jadi gila,
haha. Di penghujung semester dua, nilai IP ku naik menjadi, 3,31. Wuiih,
lumayan ada peningkatan, kataku menghibur diri. Kelihatannya cerita hidupku
akan berlangsung mulus, tetapi hidup itu tak semudah yang dibayangkan.
Tiba-tiba saja, donaturku menghentikan bantuan dana ketika semester tiga. Aku
mencoba mencari kejelasan tapi tak ada hasil. Aku kelimpungan. Bagaimana ini,
BOP sebagai syarat mengikuti ujian mid semester dan ujian akhir belum aku
bayar, sementara tenggat waktunya sudah mulai habis dan orang tuaku pun tak
punya uang dengan segera. Ah Tuhan, kenyataan apalagi ini? Mimpiku kuliah di
psikologi telah Kau buyarkan sekarang Kau hadapkan aku pada kenyataan seperti
ini. Benar-benar menyulitkan. Dan semester tiga pun harus aku relakan dengan
tidak mengikuti ujian karena aku telat membayar BOP. Gagal.
Menghadapi situasi semacam itu, aku tak
bisa berpikir dengan tenang. Dan hatiku memainkan peranan yang lebih tinggi.
Keinginanku untuk kembali ke jurusan psikologi tumbuh lagi. Aku sudah
merencakan untuk keluar dari UGM dan mencoba masuk ke psikologi Sadhar lagi.
Mungkin ini memang jalanku untuk kembali mewujudkan mimpiku. Ya, saat itu aku
yakin sekali ini adalah jalan Tuhan untuk meraih mimpiku, psikologi. Ternyata
oh ternyata, ketika aku menyampaikan keinginanku untuk keluar dan masuk
psikologi tak sependapat dengan orang tuaku. Mereka mengharapkan aku tetap
melanjutkan kuliah akuntansi apapun keadaannya. Aku menarik napas dengan berat,
orang tuaku tak setuju. Aku mencari cara lain supaya bisa pindah ke psikologi.
Akhirnya aku menemui romo mantan pembimbing rohaniku dulu, meminta bantuan sapa
tau beliau punya kenalan yang mau menjadi donaturku. Usahaku gagal lagi, beliau
tak bisa membantuku lagi. Dengan terpaksa aku pun harus mengubur mimpiku lagi
dan meneruskan kuliah di akuntansi. Kondisiku sudah amat parah, antara hati,
pikiran, raga tidak selaras lagi. Hati dan pikiran ada di psikologi tetapi
ragaku ada di akuntansi. Aku tak bisa hidup dengan kondisi seperti itu. Aku
menjelma menjadi seorang pemain sandiwara dengan topeng yang maha sempurna.
Keluargaku mengira aku masih kuliah di akuntansi, tapi kenyataannya aku tak pernah
masuk kuliah. Aku selalu memberikan kabar yang baik tentang kuliahku supaya
mereka tidak tahu apa yang terjadi sesungguhnya (baca: berbohong). Aku menjadi
orang yang bebal, durhaka, dan aku menjadi orang yang bukan diriku lagi. Aku
merasa menjadi orang asing dalam hidupku. 2 tahun aku menjadi seorang bajingan
kecil, menyia-nyiakan waktu kuliahku, tak menghargai kepercayaan orang tuaku
yang bersusah payah membiayai kuliahku. Aku benar-benar tak punya aturan dan
hidupku benar-benar kacau saat itu. Tak tahu apa yang mesti aku lakukan untuk
membuat hidupku menjadi lebih baik. Sampai akhirnya, aku tersadar bahwa aku
sudah membuang kesempatan yang amat besar dalam hidupku, waktu. Ya, aku harus
mengakhiri periode gelap ini. Sudah cukup aku merasakan menjadi seorang penipu,
tak tahu diuntung. Apapun kenyataan yang akan aku alami -jika aku menceritakan
hidupku yang sesungguhnya- entah aku akan dimarahi habis-habisan, diusir dari
keluarga, tak dianggap anak lagi atau kenyataan buruk apapun aku siap
menerimanya. Aku harus bertanggungjawab atas tindakanku. Itu sudah resiko.
Tapi, semuanya di luar bayangan burukku. Bapak ibuku tidak marah samasekali,
mereka hanya sangat menyayangkan kenapa bisa seperti itu, membuang waktu,
tenaga, biaya dengan percuma. Yah, aku juga bingung bagaimana harus menjawab,
karena saat itu aku juga tak bisa berpikir dengan baik.
Selesai sudah masalah pengakuan diri.
Saatnya memikirkan kelanjutan hidupku, mau aku apakan ini? Melanjutkan kuliah
di akuntansi atau mencoba mengejar mimpi kuliah di psikologi? Dengan bantuan
kakakku, aku dijadikan anak angkat seorang ibu yang baik hati dan kakakku
pulalah yang membantuku meraih mimpiku, kuliah psikologi. Aku dikenalkan dengan
dekan jurusan psikologi Sanata Dharma dan aku jelaskan pula maksud dan tujuanku,
bahwa aku ingin kuliah di sana dan berharap ada beasiswa yang bisa aku
dapatkan. Dan ternyata memang ada beasiswa, yang penting aku harus diterima di
psikologi Sadhar dulu. Aku pikir saat-saat itu adalah saat mimpiku akan menjadi
kenyataan. Aku sudah diterima di psikologi Sadhar lewat jalur tes regular dan
kini aku akan mengurus beasiswa itu. Aku sudah yakin bahwa ini mungkin memang
jalanku, aku harus melewati jalan yang berliku untuk sampai di mimpiku. Sayang,
aku menjadi pesimis mengajukan beasiswa itu karena ada beberapa persyaratan
yang tidak bisa aku penuhi dan tidak ada kepastian aku bisa memperoleh beasiswa
itu. Wuaaa. Aku harus melepaskan mimpiku lagi?? Tuhan, Tuhan kenapa Engkau
seolah-olah bermain denganku? Aku capek Tuhan harus membuang mimpiku lagi. Aku
sudah di ambang pintu lalu Kau membuang pintu itu. Aah, cerita apa lagi yang
harus aku mainkan ini? Benar-benar kenyataan sulit yang aku dapatkan ini. Satu
bukti lagi bahwa kehendak Tuhan itu memang berbeda dengan kehendakku.
Aku lelah bermain dengan Tuhan. Aku capek
menghadapi situasi di mana aku tak didukung Tuhan. Dan dalam situasi seperti
ini, aku pelan-pelan mencoba mengerti dan memahami, sebenarnya maksud Tuhan itu
apa dengan hidupku ini? Sudah dua kali Ia “menggagalkan” mimpiku menjadi kenyataan.
Apakah Ia memang mendukungku? Atau sebenarnya Ia hanya ingin terus bermain-main
dengan hidupku? Begitu banyak pertanyaan yang muncul di otak dan hatiku. Kenapa
aku mengalami kenyataan seperti ini? Hanya kesadaran dan penerimaan yang
kemudian mengarahkan aku untuk memahami kehendak Tuhan. Aku sadar tentu Ia
punya maksud ketika dulu aku diterima di UGM. Itu pasti, tidak ada yang terjadi
kebetulan. Semuanya pasti ada maksud dan tujuannya. Lalu apakah maksud dan
tujuan Tuhan untukku? Tuhan pasti tahu apa yang menjadi mimpiku tapi
kenyataannya Ia memberikan kesempatan yang bertolakbelakang dengan mimpiku. Aku
menjadi sadar bahwa selama ini aku terlalu mengedepankan idealismeku tanpa
memperhatikan keadaan yang ada padaku. Aku tak menerima kenyataan yang menjadi
hidupku. Bahwa aku menolak apa yang sudah diberikan Tuhan untuk hidupku,
padahal Ia memberikan jalan yang baik untukku. Kadang aku memang hidup dalam duniaku sendiri dan melupakan bahwa Tuhan pun
sebenarnya ingin selalu bersamaku. Lewat pengalaman yang serba berliku ini, aku
menjadi sadar bahwa Ia pun memberiku kesempatan untuk bertemu dengan diriku
sendiri. Ia memilih aku untuk mau berjuang meskipun pilihan itu bukanlah
pilihanku. Ia hanya memintaku untuk berjuang dan menyerahkan segala sesuatunya
tanpa pernah mengeluh. Kalo aku perhatikan, memang aku lebih banyak mengeluh
dibandingkan bersyukur dan menerima. Bahwa ada saatnya ketika aku harus
mengasingkan diri untuk melihat segala sesuatu lebih dalam, seperti yang aku
alami ini. Jika aku mau berserah diri pada Tuhan rasanya hidup akan jauh lebih
ringan dan enteng meski semuanya penuh dengan masalah. Tuhan memberiku
pengalaman ini, untuk membentukku menjadi pribadi yang kuat, tak gampang
menyerah, mau berusaha, dan terutama agar aku lebih percaya lagi kepadaNya. Hidup
memang lebih berat dari apa yang bisa aku bayangkan, namun semua tidak ada yang
tidak mungkin jika Tuhan mau campur tangan dalam hidupku. Dan itu artinya, aku
harus membuka diriku akan kehadiranNya. So, sebenarnya Tuhan mau apa dengan
hidupku? Ia hanya ingin aku berusaha dengan segala kemampuanku memperjuangkan
apa yang telah diberikanNya untukku. Itu saja. Berusaha, dan berserahdiri. Berusaha menjadi pribadi
yang lebih baik dan menyerahkan segala sesuatu pada Tuhan. Dan kini aku pun
akan berusaha semampuku untuk menyelesaikan kuliahku di akuntansi, meski aku
tak memilih itu, tapi aku percaya Tuhan memang telah memilihku untuk tugas ini.
Kalo Dia sendiri yang memilihkan untukku, pasti Dia pula yang akan membantuku
untuk menyelesaikan tugas perutusan ini. Meskipun aku sudah membuang waktu dan
aku terima bahwa aku pernah memiliki masa lalu yang agak suram, itu bukanlah
aku yang sekarang. Aku hidup di masa kini dan siap untuk menyongsong masa depan
yang lebih baik. Tak peduli omongan orang, aku hanya ingin berusaha yang
terbaik untuk hidupku ini.
Lihatlah lebih dekat,
maka kau akan mengerti.
20 Agustus 2012