Jumat, 07 Desember 2012

Budaya Jawa: Tulisan Jawa

 
          
           Cerita Aji Saka yang mengalahkan Dewatacengkar memiliki hubungan yang mendasari tulisan Jawa. Aji Saka mempunyai dua orang pengiring yang bernama Dora dan Sembada. Sewaktu Aji Saka berada di Medang Kamulan bersama dengan Dora, Sembada masih tinggal di padepokan menjaga keris Aji Saka. Aji Saka berpesan kepada Sembada untuk tidak menyerahkan keris itu kepada siapapun kecuali Aji Saka sendiri yang mengambilnya. Setelah Aji Saka berhasil melaksanakan misinya, ia memberi perintah kepada Dora untuk mengambil keris itu di padepokan. Sesampainya  Dora di padepokan, ia segera menyampaikan pesan kepada Sembada untuk mengambil keris titipan Aji Saka dan mengajak Sembada pergi ke Medang Kamulan. Akan tetapi, Sembada tidak mau memberikan keris itu karena Aji Saka sendirilah yang akan mengambilnya dan ia tahu bahwa Dora sering berbohong. Sembada berjuang mempertahankan keris itu dan Dora juga berjuang meminta keris itu. Pertentangan tidak dapat dielakkan. Awalnya pertentangan masih secara halus lama-kelamaan menjadi adu kedigdayaan. Akhirnya, mereka pun bertarung. Dora ditusuk dengan keris itu oleh Sembada dan karena masih kuat, ia mengambil keris itu, lalu menusukkannya pada Sembada. Akhirnya, keduanya pun mati.
            Setelah sekian lama Dora dan Sembada tidak muncul menghadap, Aji Saka baru teringat akan pesan yang pernah diberikan kepada Sembada sebelum ia berangkat ke Medang Kamulan. Ia pun segera menyusul ke padepokan untuk mencari Dora dan Sembada. Tetapi yang ia dapatkan adalah kepiluan. Ia mendapati Dora dan Sembada sudah mati dan kerisnya tergeletak di antara keduanya. Dengan sedih dan haru, ia mengingat kesetiaan kedua pengiringnya dan terucap kata-kata hanacaraka datasawala padhajayanya magabathanga. Sejak saat itu dan sesuai dengan kata-kata yang diucapkan oleh Aji Saka, terbentuklah susunan huruf dan abjad Jawa. Cerita tersebut diuraikan dalam huruf Jawa seperti berikut.[1]
            Tahap I            : Hana caraka : ana utusan ( ada utusan )
            Tahap II          : Data sawala  : padha suwala ( saling bertengkar )
            Tahap III         : Padha jayanya : padha digdayane (sama saktinya)
            Tahap IV         : Maga bathanga : dadi bathang (menjadi bangkai)
            Masyarakat Jawa yang mengejar kesempurnaan hidup “ngudi kasampurnaning urip” dan mengejar kebijaksanaan “ngudi kawicaksanan”  selalu berorientasi pada lima huruf pertama dalam deretan huruf Jawa. Lima huruf pertama itu maksudnya adalah :
Ha artinya haurip atau urip yang artinya hidup merupakan salah satu sifat Yang Maha Esa.
Na artinya hana atau ana yang artinya adalah ada. Ada alam semesta yaitu kosmologi.
Ca artinya cipta yang artinya adalah pikiran, nalar dan akal.
Ra artinya rasa dan perasaan.
Ka artinya karsa yang artinya kehendak atau kemauan.
Secara singkat arti tersebut dapat disimpulkan bahwa manusia adalah ciptaan Allah yang dalam kodratnya mempunyai cipta, rasa dan karsa. Hanacaraka merupakan suatu kesatuan yang terdiri atas alam semesta, manusia dan Tuhan Yang Maha Esa.

            Tulisan Jawa terdiri atas beberapa unsur yang saling melengkapi. Unsur-unsur tersebut  misalnya aksara Murda untuk menulis kata yang bermakna lebih atau berhubungan dengan ningrat, aksara Rekan untuk mengatasi huruf-huruf abjad nasional, Swara untuk menuliskan kata-kata khusus Pasangan, Sandhangan dan angka Jawa. Tulisan Jawa melukiskan kehidupan dan sikap orang Jawa. Huruf Jawa tetap hidup biarpun dipepet, dipengkal, diwulu, ditarung dan disuku, tetapi huruf Jawa akan mati bila dipangku. Bagi orang non-Jawa yang belum mengenal budaya Jawa akan sulit memahami tulisan tersebut, tetapi akan menjadi paham bila dijelaskan oleh orang Jawa sendiri.

            Makna pernyataan hidup di atas adalah diperlakukan seperti apapun, orang Jawa tetap gembira dan senang, artinya bebas melakukan apapun asal berkehendak baik. Orang Jawa akan mati apabila “dipangku”. Maksud mati di sini adalah bahwa orang Jawa tersebut tidak bebas, merasa tidak enak, rikuh. Orang Jawa akan “mati” apabila dipuji, disanjung, dan dielu-elukan. Jadi, sikap orang Jawa masih memiliki hubungan yang erat dengan tulisan Jawa.



[1] Herusatoto, Budiono.1985.Simbolisme dalam Budaya Jawa.Yogyakarta:PT Hanindita, hal 78

sumber: Endraswara,Suwardi.2003.Falsafah Hidup Jawa. Cakrawala:Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar