Jumat, 07 Desember 2012

Budaya Jawa: Njawani dan Tidak Njawani


 
Seringkali orang Jawa golongan tua merasa lebih njawani dibanding generasi muda. Golongan tua merasa lebih taat pada tata cara Jawa, mulai dari cara berpakaian, etika bertamu, cara bicara, dan sebagainya. Mereka selalu berpusat pada nilai kejawaan yang asli. Kedekatan dan kelekatan budaya Jawa dengan golongan tua semakin mendarah daging karena mereka enggan meninggalkan nilai kejawaan dan didorong rasa ingin melestarikan budaya miliknya. Figur golongan tua yang masih memegang teguh tradisi budaya Jawa tidak hanya berasal dari golongan priyayi tetapi juga dari rakyat kecil (biasa).
Berbeda dengan orang Jawa sekarang (modern),  jelas telah terpengaruh nilai-nilai budaya Barat yang dapat (telah) merusak nilai-nilai budaya tradisi yang sudah ada. Kontak antarbudaya satu dengan budaya yang lain akan mempengaruhi kehidupan orang Jawa dan melunturkan tradisi Jawa ke arah lain. Akibatnya adalah sikap hidup orang Jawa masa kini (sedang) mengalami pergeseran. Pergeseran yang sulit untuk dibendung adalah munculnya kembali zaman edan, yang antara lain bercirikan keteraturan terganggu, keamanan dan keadilan menipis, ekonomi sulit, dan tata nilai yang berbenturan satu sama lain.  Zaman inilah yang membuat dunia Jawa mengalami pengikisan atau erosi tradisi secara besar-besaran.
Arus globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan komunikasi yang semakin pesat telah mempengaruhi sikap, cara hidup, dan pola pikir manusia (Jawa). Dampak persinggungan budaya adalah memunculkan korban budaya (Jawa) yang harus menerima, menolak, dan adaptasi. Dan tampaknya istilah adaptasi lebih tepat dalam menghadapi persinggungan budaya ini. Maksudnya adalah pelestarian nilai-nilai budaya bangsa (tradisional) yang selaras dengan kemajuan zaman, bukan sekedar mewarisi, bukan sekedar memelihara, dan  bukan sekedar menyelamatkan melainkan perlu mengarah pada restrukturisasi budaya Jawa atau menata kembali budaya Jawa dengan menyesuaikan perkembangan zaman. Jika tanpa penataan ulang yang sejalan dengan jiwa zaman, generasi muda akan sering mendapat “cap” (dianggap) sudah tidak njawani.
Penilaian tersebut muncul karena didasarkan pada sikap dan perilaku negatif yang mereka lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Menurut masyarakat Jawa pada umumnya, orang yang berperilaku buruk (tidak tahu etika, sopan santun) sering dikatakan ora njawani. Sebagian lagi membuat penilaian dengan mengatakan ora ngerti basa atau  unggah-ungguh. Sebaliknya, orang yang paham berbudaya Jawa secara utuh dinyatakan sebagai orang yang njawani.
Berbagai tuduhan yang menyudutkan generasi muda ini sebenarnya disebabkan oleh perubahan zaman. Pada gilirannya ukuran njawani, durung njawani atau ora njawani justru semakin tidak jelas karena zaman akan terus berubah. Ketidakjelasan ini disebabkan hilangnya titik acuan yang mendasari penilaian arti njawani.  Jelasnya adalah sikap hidup apa dan bagaimana yang dikatakan njawani perlu ditinjau kembali. Berkaitan dengan masalah tersebut dapat dikemukakan salah satu acuan sikap hidup yang dianggap njawani yakni orang njawani akan diwarnai semangat kejawaan dalam sikap dan perilakunya. Mereka masih mampu mempertahankan jati diri kejawaan meskipun dalam keadaan kontak budaya yang dahsyat.
Keluhuran nilai kejawaan orang njawani  akan tumbuh secara alamiah. Perbuatan sehari-hari akan memunculkan aspek-aspek Jawa yang penuh dengan aroma sopan santun. Segala hal yang menyangkut tutur kata, sikap, mimik wajah, tindakan kepada orang lain selalu merepresentasikan kepribadian Jawa. Secara sadar dan otomatis mereka akan melakukan tindakan kejawaan yang hakiki. Akhirnya, sinkronisasi antara hati dan tindakan kejawaan selalu nampak pada orang Jawa yang njawani. Sebaliknya, orang Jawa yang ora njawani sikap dan perilakunya tidak asli Jawa. Orang Jawa tersebut biasanya akan mendapat “ cap merah”  dari orang njawani. Orang njawani juga akan mendapatkan “ cap merah”  dari orang ora njawani sebagai orang yang kolot.
Dengan demikian, kategori njawani dan ora njawani semata-mata menjadi ukuran normatif orang Jawa. Ukuran ini memang tidak tertulis, tetapi berupa sandaran lisan dalam tiap-tiap  komunitas Jawa yang masih dalam proses perkembangan terus-menerus. Karena percampuran budaya sulit untuk dihindarkan, kaidah njawani dan  ora njawani selalu berada dalam penataan dan tidak pernah akan selesai. Namun demikian, orang Jawa masih memegang teguh kriteria njawani sebagai orang Jawa asli dan ora njawani sebagai orang Jawa blasteran ( tidak asli ). Orang Jawa asli merasa lebih berwibawa, berjiwa priyayi, dan taat norma. Sebaliknya, orang Jawa tidak asli telah luntur atau pudar nilai kejawaannya.

sumber: Endraswara,Suwardi.2003.Falsafah Hidup Jawa. Cakrawala:Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar