Seringkali orang
Jawa golongan tua merasa lebih njawani dibanding generasi muda. Golongan
tua merasa lebih taat pada tata cara Jawa, mulai dari cara berpakaian, etika
bertamu, cara bicara, dan sebagainya. Mereka selalu berpusat pada nilai
kejawaan yang asli. Kedekatan dan kelekatan budaya Jawa dengan golongan tua
semakin mendarah daging karena mereka enggan meninggalkan nilai kejawaan dan
didorong rasa ingin melestarikan budaya miliknya. Figur golongan tua yang masih
memegang teguh tradisi budaya Jawa tidak hanya berasal dari golongan priyayi
tetapi juga dari rakyat kecil (biasa).
Berbeda dengan
orang Jawa sekarang (modern), jelas
telah terpengaruh nilai-nilai budaya Barat yang dapat (telah) merusak
nilai-nilai budaya tradisi yang sudah ada. Kontak antarbudaya satu dengan
budaya yang lain akan mempengaruhi kehidupan orang Jawa dan melunturkan tradisi
Jawa ke arah lain. Akibatnya adalah sikap hidup orang Jawa masa kini (sedang)
mengalami pergeseran. Pergeseran yang sulit untuk dibendung adalah munculnya
kembali zaman edan, yang antara lain bercirikan keteraturan terganggu,
keamanan dan keadilan menipis, ekonomi sulit, dan tata nilai yang berbenturan satu
sama lain. Zaman inilah yang membuat
dunia Jawa mengalami pengikisan atau erosi tradisi secara besar-besaran.
Arus globalisasi
dan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan komunikasi yang semakin pesat
telah mempengaruhi sikap, cara hidup, dan pola pikir manusia (Jawa). Dampak
persinggungan budaya adalah memunculkan korban budaya (Jawa) yang harus
menerima, menolak, dan adaptasi. Dan tampaknya istilah adaptasi lebih tepat
dalam menghadapi persinggungan budaya ini. Maksudnya adalah pelestarian nilai-nilai
budaya bangsa (tradisional) yang selaras dengan kemajuan zaman, bukan sekedar
mewarisi, bukan sekedar memelihara, dan
bukan sekedar menyelamatkan melainkan perlu mengarah pada
restrukturisasi budaya Jawa atau menata kembali budaya Jawa dengan menyesuaikan
perkembangan zaman. Jika tanpa penataan ulang yang sejalan dengan jiwa zaman,
generasi muda akan sering mendapat “cap” (dianggap) sudah tidak njawani.
Penilaian
tersebut muncul karena didasarkan pada sikap dan perilaku negatif yang mereka
lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Menurut masyarakat Jawa pada umumnya,
orang yang berperilaku buruk (tidak tahu etika, sopan santun) sering
dikatakan ora njawani. Sebagian lagi membuat penilaian dengan mengatakan
ora ngerti basa atau unggah-ungguh. Sebaliknya, orang yang
paham berbudaya Jawa secara utuh dinyatakan sebagai orang yang njawani.
Berbagai tuduhan
yang menyudutkan generasi muda ini sebenarnya disebabkan oleh perubahan zaman.
Pada gilirannya ukuran njawani, durung njawani atau ora njawani
justru semakin tidak jelas karena zaman akan terus berubah. Ketidakjelasan ini
disebabkan hilangnya titik acuan yang mendasari penilaian arti njawani. Jelasnya adalah sikap hidup apa dan bagaimana
yang dikatakan njawani perlu ditinjau kembali. Berkaitan dengan masalah
tersebut dapat dikemukakan salah satu acuan sikap hidup yang dianggap njawani
yakni orang njawani akan diwarnai semangat kejawaan dalam sikap dan
perilakunya. Mereka masih mampu mempertahankan jati diri kejawaan meskipun
dalam keadaan kontak budaya yang dahsyat.
Keluhuran nilai kejawaan
orang njawani akan tumbuh secara
alamiah. Perbuatan sehari-hari akan memunculkan aspek-aspek Jawa yang penuh
dengan aroma sopan santun. Segala hal yang menyangkut tutur kata, sikap, mimik
wajah, tindakan kepada orang lain selalu merepresentasikan kepribadian Jawa. Secara
sadar dan otomatis mereka akan melakukan tindakan kejawaan yang hakiki.
Akhirnya, sinkronisasi antara hati dan tindakan kejawaan selalu nampak pada
orang Jawa yang njawani. Sebaliknya, orang Jawa yang ora njawani
sikap dan perilakunya tidak asli Jawa. Orang Jawa tersebut biasanya akan
mendapat “ cap merah” dari orang njawani.
Orang njawani juga akan mendapatkan “ cap merah” dari orang ora njawani sebagai orang
yang kolot.
Dengan demikian,
kategori njawani dan ora njawani semata-mata menjadi ukuran
normatif orang Jawa. Ukuran ini memang tidak tertulis, tetapi berupa sandaran
lisan dalam tiap-tiap komunitas Jawa yang
masih dalam proses perkembangan terus-menerus. Karena percampuran budaya sulit
untuk dihindarkan, kaidah njawani dan ora njawani selalu berada dalam penataan
dan tidak pernah akan selesai. Namun demikian, orang Jawa masih memegang teguh
kriteria njawani sebagai orang Jawa asli dan ora njawani sebagai
orang Jawa blasteran ( tidak asli ). Orang Jawa asli merasa lebih berwibawa,
berjiwa priyayi, dan taat norma. Sebaliknya, orang Jawa tidak asli telah luntur
atau pudar nilai kejawaannya.
sumber: Endraswara,Suwardi.2003.Falsafah Hidup Jawa. Cakrawala:Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar