Jumat, 07 Desember 2012

Budaya Jawa: Sikap Feodalistik Orang Jawa


Corak sikap feodalistik terlihat jelas dalam struktur sosial masyarakat dalam bentuk kerajaan. Sebagai contoh adalah kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Surakarta. Seorang raja akan dihormati layaknya “Tuhan”. Maka tidak mengherankan bila ada istilah sabda pandhita ratu yang artinya adalah sabda raja adalah sabda yang mengandung kuasa dari Tuhan. Selain di kota Yogya dan Sala ini, terdapat pula pusat-pusat feodalisme di kota-kota kabupaten semasa Hindia Belanda yang mana sang bupati memerintah sebagai semacam raja dan oleh rakyat biasa disebut ndara kanjeng.
Feodalisme tidak lain adalah suatu mental attitude, yakni sikap mental terhadap sesama dengan mengadakan sikap khusus karena adanya pembedaan dalam usia atau kedudukan[1]. Bahasa dan budaya berada dalam sentral perilaku. Misalnya saja dalam bertutur kata dengan orang yang lebih tua usianya, orang Jawa akan menggunakan kata-kata yang lebih halus dan sopan daripada ketika ia berbicara dengan teman sebayanya atau dengan orang yang lebih muda. Ketika orang Jawa hendak melewati jalan atau ruangan yang penuh sesak di mana kebetulan paman atau atasannya sedang duduk, orang Jawa tidak akan berani lewat begitu saja. Secara otomatis, ia akan membungkukkan badannya sebagai tanda hormat dan tersenyum sambil mengisyarakatkan dengan tangan kanannya bahwa ia akan ingin lewat. Secara mental, orang Jawa dibebani oleh tradisi dan tata krama yang sudah turun-temurun. Beban ini akan terasa lebih berat dalam hubungan pekerjaan. Seorang bawahan Jawa tidak pernah mengatakan tidak di hadapan atasannya. Ia akan menyatakan sikap penolakannya dengan senyuman secara halus dengan maksud supaya tidak mengecewakan dan tidak menyakiti perasaan pihak yang menawari permintaan itu.
Inggih (ya) di lingkungan kraton belum tentu berarti ya dalam kenyataannya. Sikap semacam ini disebabkan kata boten ( tidak ) tidak ada dalam tata pergaulan masyarakat Jawa, lebih-lebih dalam lingkup pemerintahan. Orang Jawa tidak mengenal bantahan dan hanya mengenal persetujuan dalam konteks ini. Ya berarti tidak dan tidak yang diucapkan dengan ragu-ragu bisa berarti ya. Tidak pernah bisa didapatkan kepastian dalam jawaban seorang manusia Jawa. Kepastian jawaban baru bisa didapatkan setelah beberapa hari kemudian. Dengan dilaksanakannya perintah berarti jawaban yang diberikan adalah ya dan dengan tidak dijalankannya perintah berarti jawabannya adalah tidak.
Kehidupan yang feodalistik akan memunculkan gejala sosial yang biasa disebut penggerutuan. Gejala penggurutuan timbul sebagai akibat dipendamnya keterbukaan oleh orang Jawa. Karena takut untuk mengutarakan maksud yang sebenarnya, orang Jawa akan menyimpan maksudnya dan biasanya dimanifestasikan lewat tindakan menggerutu. Harus diakui bahwa penggerutuan pada dasarnya adalah semacam gossip, gunjingan, dan termasuk juga dalam budaya ngrasani (bicara di belakang). Gejala penggerutuan ini akan melekat dalam diri manusia Jawa selama kehidupan yang feodalistik masih dihidupinya.
Seorang manusia Jawa yang kedudukannya rendah selalu akan berusaha untuk menyenangkan orang yang mempunyai kedudukan lebih tinggi dari yang dijabatnya. Dengan membuat senang atasan, ada harapan untuk mengamankan posisinya atau terkabulnya suatu permohonan tertentu. Perbuatan semacam ini sebenarnya merupakan perbuatan biasa dan manusiawi yang dilakukan oleh orang-orang di dunia ini.
Bagi orang Jawa yang tidak bisa melakukan perbuatan ini ada falsafah Jawa yang akan memberinya “obat” luka hati. Sebuah falsafah Jawa berbunyi,” Tinimbang sing edan luwih becik sing eling” ( daripada yang gila, lebih baik yang sadar ). Orang Jawa merasa puas karena terobati laranya dengan kata-kata bijak ini. Kepuasan batin yang ia dapatkan adalah ia tetap sadar akan hal yang baik dan hal yang buruk di zaman edan ini dan ia tidak terseret dalam kegilaan itu.



[1]Hardjowirogo, Marbangun. 1989 Manusia Jawa .Jakarta: Inti Idayu Press.hal.13
sumber: Endraswara,Suwardi.2003.Falsafah Hidup Jawa. Cakrawala:Yogyakarta 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar