Corak sikap feodalistik
terlihat jelas dalam struktur sosial masyarakat dalam bentuk kerajaan. Sebagai
contoh adalah kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Surakarta. Seorang raja
akan dihormati layaknya “Tuhan”. Maka tidak mengherankan bila ada istilah sabda
pandhita ratu yang artinya adalah sabda raja adalah sabda yang mengandung
kuasa dari Tuhan. Selain di kota Yogya dan Sala ini, terdapat pula pusat-pusat
feodalisme di kota-kota kabupaten semasa Hindia Belanda yang mana sang bupati
memerintah sebagai semacam raja dan oleh rakyat biasa disebut ndara kanjeng.
Feodalisme tidak lain adalah
suatu mental attitude, yakni sikap mental terhadap sesama dengan
mengadakan sikap khusus karena adanya pembedaan dalam usia atau kedudukan[1]. Bahasa dan budaya berada dalam sentral
perilaku. Misalnya saja dalam bertutur kata dengan orang yang lebih tua
usianya, orang Jawa akan menggunakan kata-kata yang lebih halus dan sopan
daripada ketika ia berbicara dengan teman sebayanya atau dengan orang yang
lebih muda. Ketika orang Jawa hendak melewati jalan atau ruangan yang penuh
sesak di mana kebetulan paman atau atasannya sedang duduk, orang Jawa tidak
akan berani lewat begitu saja. Secara otomatis, ia akan membungkukkan badannya
sebagai tanda hormat dan tersenyum sambil mengisyarakatkan dengan tangan
kanannya bahwa ia akan ingin lewat. Secara mental, orang Jawa dibebani oleh
tradisi dan tata krama yang sudah turun-temurun. Beban ini akan terasa lebih
berat dalam hubungan pekerjaan. Seorang bawahan Jawa tidak pernah mengatakan tidak
di hadapan atasannya. Ia akan menyatakan sikap penolakannya dengan senyuman
secara halus dengan maksud supaya tidak mengecewakan dan tidak menyakiti
perasaan pihak yang menawari permintaan itu.
Inggih (ya) di lingkungan kraton belum tentu
berarti ya dalam kenyataannya. Sikap semacam ini disebabkan kata boten (
tidak ) tidak ada dalam tata pergaulan masyarakat Jawa, lebih-lebih dalam
lingkup pemerintahan. Orang Jawa tidak mengenal bantahan dan hanya mengenal
persetujuan dalam konteks ini. Ya berarti tidak dan tidak yang diucapkan dengan
ragu-ragu bisa berarti ya. Tidak pernah bisa didapatkan kepastian dalam jawaban
seorang manusia Jawa. Kepastian jawaban baru bisa didapatkan setelah beberapa
hari kemudian. Dengan dilaksanakannya perintah berarti jawaban yang diberikan
adalah ya dan dengan tidak dijalankannya perintah berarti jawabannya adalah
tidak.
Kehidupan yang feodalistik
akan memunculkan gejala sosial yang biasa disebut penggerutuan. Gejala
penggurutuan timbul sebagai akibat dipendamnya keterbukaan oleh orang Jawa.
Karena takut untuk mengutarakan maksud yang sebenarnya, orang Jawa akan
menyimpan maksudnya dan biasanya dimanifestasikan lewat tindakan menggerutu. Harus
diakui bahwa penggerutuan pada dasarnya adalah semacam gossip,
gunjingan, dan termasuk juga dalam budaya ngrasani (bicara di belakang).
Gejala penggerutuan ini akan melekat dalam diri manusia Jawa selama kehidupan
yang feodalistik masih dihidupinya.
Seorang manusia Jawa yang
kedudukannya rendah selalu akan berusaha untuk menyenangkan orang yang
mempunyai kedudukan lebih tinggi dari yang dijabatnya. Dengan membuat senang
atasan, ada harapan untuk mengamankan posisinya atau terkabulnya suatu
permohonan tertentu. Perbuatan semacam ini sebenarnya merupakan perbuatan biasa
dan manusiawi yang dilakukan oleh orang-orang di dunia ini.
Bagi orang Jawa yang tidak
bisa melakukan perbuatan ini ada falsafah Jawa yang akan memberinya “obat” luka
hati. Sebuah falsafah Jawa berbunyi,” Tinimbang sing edan luwih becik sing
eling” ( daripada yang gila, lebih baik yang sadar ). Orang Jawa merasa
puas karena terobati laranya dengan kata-kata bijak ini. Kepuasan batin yang ia
dapatkan adalah ia tetap sadar akan hal yang baik dan hal yang buruk di zaman
edan ini dan ia tidak terseret dalam kegilaan itu.
[1]Hardjowirogo,
Marbangun. 1989 Manusia Jawa .Jakarta: Inti Idayu Press.hal.13
sumber: Endraswara,Suwardi.2003.Falsafah Hidup Jawa. Cakrawala:Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar