Hujan akhirnya datang.
Kepada awan, tak sempat ia berpamitan.
Sekedar cium tangan, pipi kiri dan kanan pun ia enggan.
Hujan melesat meninggalkan awan.
Berlari jatuh ke bumi, lalu bersembunyi di balik tanah.
Ia tak mati.
Matanya masih terjaga.
Kakinya pun masih lincah,
meluncur di sela-sela akar tanah.
Hatinya pun masih "berasa".
Hanya saja tak tahu, kepada siapa ia harus berkata rasa.
Dihimpit rumput dan lumut ia beringsut.
Ia menatap ke angkasa jagat raya.
"Andai saja waktu itu aku tak tergesa,
pasti aku masih di sana."katanya lirih.
Sesal.
bersiap-siap pergi, 20:08
Sabtu, 22 Desember 2012
Rabu, 19 Desember 2012
Puisi: Intrik Hujan
..malam ini, sang bulan tersenyum muram di selaput awan..
..remang menyala, ia menyapa malam..
..terlalu lama, ia tak bersua dengan sahabatnya karena ada hujan yang menyela..
..kadang ia menangisi rindunya pada malam yang tak tersampaikan karena hujan..
..dan ia menitipkan air matanya pada hujan..
..jatuh ke tanah untuk memeluk malam..
..tak sehangat saat bersamanya, kali ini malam harus menahan dinginnya hujan yang membawa kerinduan bulan..
..rupanya hujan tertawan malam, ia lupa menyampaikan titipan rindu sang bulan untuk malam..
..malam telah memikat hujan dan hujan mengkhianati kesetiaan bulan pada malam..
..beranjak pagi, hujan lelah dan ia bersiap pulang, berpura-pura ceria pada sang bulan..
..bulan tak tahu bahwa hujan telah merebut malam dan sekarang tak kan ada sinar remangnya menemani malam..
..rupanya pagi sudah tiba..
Sleman, 19122012
terinspirasi tatapan bulan malam ini
..remang menyala, ia menyapa malam..
..terlalu lama, ia tak bersua dengan sahabatnya karena ada hujan yang menyela..
..kadang ia menangisi rindunya pada malam yang tak tersampaikan karena hujan..
..dan ia menitipkan air matanya pada hujan..
..jatuh ke tanah untuk memeluk malam..
..tak sehangat saat bersamanya, kali ini malam harus menahan dinginnya hujan yang membawa kerinduan bulan..
..rupanya hujan tertawan malam, ia lupa menyampaikan titipan rindu sang bulan untuk malam..
..malam telah memikat hujan dan hujan mengkhianati kesetiaan bulan pada malam..
..beranjak pagi, hujan lelah dan ia bersiap pulang, berpura-pura ceria pada sang bulan..
..bulan tak tahu bahwa hujan telah merebut malam dan sekarang tak kan ada sinar remangnya menemani malam..
..rupanya pagi sudah tiba..
Sleman, 19122012
terinspirasi tatapan bulan malam ini
Rabu, 12 Desember 2012
Di Perempatan Klodran, Pagi Ini
Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengar.
Mat 11:15
Traffic light menyala merah. Aku
berhenti paling depan di perempatan
Klodran. Sejenak aku mengamati keadaan di sekitarku. Dari depan datang seorang
penjual Koran, lelaki paruh baya, berumur sekitar 50-an tahun. Ia memarkir
sepeda jengkinya di pinggir jalan, dekat penyangga lampu traffic light dan ia
segera menjajakan setumpuk Koran yang dibawanya. Dari arah kanan, lewatlah
seorang nenek menggendong tenggok menyeberang jalan melintasi zebra cross.
Jalannya tak terburu-buru namun langkah kakinya pasti, menapak setiap jengkal
aspal di bawah. Dari jalan sebelah kanan, rupanya traffic light sudah menyala
hijau. Sejumlah motor yang dikendarai para pekerja mulai bergerak maju ke
depan, hanya ada sedikit mobil yang ikut berjalan. Mereka, para pekerja itu
segera memacu motornya, berharap tak telat sampai di tempat kerjanya.
Setiap orang perlu untuk bergerak. Tak
diam. Apa yang membuatnya bergerak? pekerjaan?
tugas? uang? hidup? atau apa? Apapun alasan dan motivasinya pastilah
membutuhkan gerak. Tak ada yang tak membutuhkan gerak. Orang memimpikan memilik
rumah, mobil, pekerjaan. Itu berarti ia perlu bergerak. Seorang mahasiswa
memimpikan nilai ujian yang terbaik dan prestasi yang baik pula, itu berarti ia
perlu bergerak juga. Seorang anak kecil menginginkan jajanan, es krim, itu
artinya ia perlu bergerak juga untuk meminta pada orang tuanya. Semua orang
memang butuh gerak. Hanya saja, kadang mereka tak tahu harus bergerak seperti
apa dan bagaimana caranya. Bingung, tak tahu caranya lalu akhirnya menggerutu,
meratapi hidup seolah hidup tak berpihak dan akhirnya menyalahkan hidup dan
Tuhannya.
Sebenarnya sangatlah simple utk tidak
terperangkap dalam keadaan bingung harus berbuat apa. Saran saya cukuplah,
“Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengar.” Ya, Mendengar. Itulah jalan
keluarnya. Dengar suara hati, dengarkan dia berkata apa. Dalam kondisi sesulit
apapun, suara hati pasti mengeluarkan perkataannya. Dan suara yang keluar
itulah yang akan menuntun kita harus bergerak seperti apa, layaknya penjual
Koran, seorang nenek yang menyebrang jalan, atau para pekerja yang memacu
motornya seperti yang saya lihat di perempatan jalan pagi ini.
Jumat, 07 Desember 2012
Budaya Jawa: Sikap Feodalistik Orang Jawa
Corak sikap feodalistik
terlihat jelas dalam struktur sosial masyarakat dalam bentuk kerajaan. Sebagai
contoh adalah kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Surakarta. Seorang raja
akan dihormati layaknya “Tuhan”. Maka tidak mengherankan bila ada istilah sabda
pandhita ratu yang artinya adalah sabda raja adalah sabda yang mengandung
kuasa dari Tuhan. Selain di kota Yogya dan Sala ini, terdapat pula pusat-pusat
feodalisme di kota-kota kabupaten semasa Hindia Belanda yang mana sang bupati
memerintah sebagai semacam raja dan oleh rakyat biasa disebut ndara kanjeng.
Feodalisme tidak lain adalah
suatu mental attitude, yakni sikap mental terhadap sesama dengan
mengadakan sikap khusus karena adanya pembedaan dalam usia atau kedudukan[1]. Bahasa dan budaya berada dalam sentral
perilaku. Misalnya saja dalam bertutur kata dengan orang yang lebih tua
usianya, orang Jawa akan menggunakan kata-kata yang lebih halus dan sopan
daripada ketika ia berbicara dengan teman sebayanya atau dengan orang yang
lebih muda. Ketika orang Jawa hendak melewati jalan atau ruangan yang penuh
sesak di mana kebetulan paman atau atasannya sedang duduk, orang Jawa tidak
akan berani lewat begitu saja. Secara otomatis, ia akan membungkukkan badannya
sebagai tanda hormat dan tersenyum sambil mengisyarakatkan dengan tangan
kanannya bahwa ia akan ingin lewat. Secara mental, orang Jawa dibebani oleh
tradisi dan tata krama yang sudah turun-temurun. Beban ini akan terasa lebih
berat dalam hubungan pekerjaan. Seorang bawahan Jawa tidak pernah mengatakan tidak
di hadapan atasannya. Ia akan menyatakan sikap penolakannya dengan senyuman
secara halus dengan maksud supaya tidak mengecewakan dan tidak menyakiti
perasaan pihak yang menawari permintaan itu.
Inggih (ya) di lingkungan kraton belum tentu
berarti ya dalam kenyataannya. Sikap semacam ini disebabkan kata boten (
tidak ) tidak ada dalam tata pergaulan masyarakat Jawa, lebih-lebih dalam
lingkup pemerintahan. Orang Jawa tidak mengenal bantahan dan hanya mengenal
persetujuan dalam konteks ini. Ya berarti tidak dan tidak yang diucapkan dengan
ragu-ragu bisa berarti ya. Tidak pernah bisa didapatkan kepastian dalam jawaban
seorang manusia Jawa. Kepastian jawaban baru bisa didapatkan setelah beberapa
hari kemudian. Dengan dilaksanakannya perintah berarti jawaban yang diberikan
adalah ya dan dengan tidak dijalankannya perintah berarti jawabannya adalah
tidak.
Kehidupan yang feodalistik
akan memunculkan gejala sosial yang biasa disebut penggerutuan. Gejala
penggurutuan timbul sebagai akibat dipendamnya keterbukaan oleh orang Jawa.
Karena takut untuk mengutarakan maksud yang sebenarnya, orang Jawa akan
menyimpan maksudnya dan biasanya dimanifestasikan lewat tindakan menggerutu. Harus
diakui bahwa penggerutuan pada dasarnya adalah semacam gossip,
gunjingan, dan termasuk juga dalam budaya ngrasani (bicara di belakang).
Gejala penggerutuan ini akan melekat dalam diri manusia Jawa selama kehidupan
yang feodalistik masih dihidupinya.
Seorang manusia Jawa yang
kedudukannya rendah selalu akan berusaha untuk menyenangkan orang yang
mempunyai kedudukan lebih tinggi dari yang dijabatnya. Dengan membuat senang
atasan, ada harapan untuk mengamankan posisinya atau terkabulnya suatu
permohonan tertentu. Perbuatan semacam ini sebenarnya merupakan perbuatan biasa
dan manusiawi yang dilakukan oleh orang-orang di dunia ini.
Bagi orang Jawa yang tidak
bisa melakukan perbuatan ini ada falsafah Jawa yang akan memberinya “obat” luka
hati. Sebuah falsafah Jawa berbunyi,” Tinimbang sing edan luwih becik sing
eling” ( daripada yang gila, lebih baik yang sadar ). Orang Jawa merasa
puas karena terobati laranya dengan kata-kata bijak ini. Kepuasan batin yang ia
dapatkan adalah ia tetap sadar akan hal yang baik dan hal yang buruk di zaman
edan ini dan ia tidak terseret dalam kegilaan itu.
[1]Hardjowirogo,
Marbangun. 1989 Manusia Jawa .Jakarta: Inti Idayu Press.hal.13
sumber: Endraswara,Suwardi.2003.Falsafah Hidup Jawa. Cakrawala:Yogyakarta
Budaya Jawa: Njawani dan Tidak Njawani
Seringkali orang
Jawa golongan tua merasa lebih njawani dibanding generasi muda. Golongan
tua merasa lebih taat pada tata cara Jawa, mulai dari cara berpakaian, etika
bertamu, cara bicara, dan sebagainya. Mereka selalu berpusat pada nilai
kejawaan yang asli. Kedekatan dan kelekatan budaya Jawa dengan golongan tua
semakin mendarah daging karena mereka enggan meninggalkan nilai kejawaan dan
didorong rasa ingin melestarikan budaya miliknya. Figur golongan tua yang masih
memegang teguh tradisi budaya Jawa tidak hanya berasal dari golongan priyayi
tetapi juga dari rakyat kecil (biasa).
Berbeda dengan
orang Jawa sekarang (modern), jelas
telah terpengaruh nilai-nilai budaya Barat yang dapat (telah) merusak
nilai-nilai budaya tradisi yang sudah ada. Kontak antarbudaya satu dengan
budaya yang lain akan mempengaruhi kehidupan orang Jawa dan melunturkan tradisi
Jawa ke arah lain. Akibatnya adalah sikap hidup orang Jawa masa kini (sedang)
mengalami pergeseran. Pergeseran yang sulit untuk dibendung adalah munculnya
kembali zaman edan, yang antara lain bercirikan keteraturan terganggu,
keamanan dan keadilan menipis, ekonomi sulit, dan tata nilai yang berbenturan satu
sama lain. Zaman inilah yang membuat
dunia Jawa mengalami pengikisan atau erosi tradisi secara besar-besaran.
Arus globalisasi
dan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan komunikasi yang semakin pesat
telah mempengaruhi sikap, cara hidup, dan pola pikir manusia (Jawa). Dampak
persinggungan budaya adalah memunculkan korban budaya (Jawa) yang harus
menerima, menolak, dan adaptasi. Dan tampaknya istilah adaptasi lebih tepat
dalam menghadapi persinggungan budaya ini. Maksudnya adalah pelestarian nilai-nilai
budaya bangsa (tradisional) yang selaras dengan kemajuan zaman, bukan sekedar
mewarisi, bukan sekedar memelihara, dan
bukan sekedar menyelamatkan melainkan perlu mengarah pada
restrukturisasi budaya Jawa atau menata kembali budaya Jawa dengan menyesuaikan
perkembangan zaman. Jika tanpa penataan ulang yang sejalan dengan jiwa zaman,
generasi muda akan sering mendapat “cap” (dianggap) sudah tidak njawani.
Penilaian
tersebut muncul karena didasarkan pada sikap dan perilaku negatif yang mereka
lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Menurut masyarakat Jawa pada umumnya,
orang yang berperilaku buruk (tidak tahu etika, sopan santun) sering
dikatakan ora njawani. Sebagian lagi membuat penilaian dengan mengatakan
ora ngerti basa atau unggah-ungguh. Sebaliknya, orang yang
paham berbudaya Jawa secara utuh dinyatakan sebagai orang yang njawani.
Berbagai tuduhan
yang menyudutkan generasi muda ini sebenarnya disebabkan oleh perubahan zaman.
Pada gilirannya ukuran njawani, durung njawani atau ora njawani
justru semakin tidak jelas karena zaman akan terus berubah. Ketidakjelasan ini
disebabkan hilangnya titik acuan yang mendasari penilaian arti njawani. Jelasnya adalah sikap hidup apa dan bagaimana
yang dikatakan njawani perlu ditinjau kembali. Berkaitan dengan masalah
tersebut dapat dikemukakan salah satu acuan sikap hidup yang dianggap njawani
yakni orang njawani akan diwarnai semangat kejawaan dalam sikap dan
perilakunya. Mereka masih mampu mempertahankan jati diri kejawaan meskipun
dalam keadaan kontak budaya yang dahsyat.
Keluhuran nilai kejawaan
orang njawani akan tumbuh secara
alamiah. Perbuatan sehari-hari akan memunculkan aspek-aspek Jawa yang penuh
dengan aroma sopan santun. Segala hal yang menyangkut tutur kata, sikap, mimik
wajah, tindakan kepada orang lain selalu merepresentasikan kepribadian Jawa. Secara
sadar dan otomatis mereka akan melakukan tindakan kejawaan yang hakiki.
Akhirnya, sinkronisasi antara hati dan tindakan kejawaan selalu nampak pada
orang Jawa yang njawani. Sebaliknya, orang Jawa yang ora njawani
sikap dan perilakunya tidak asli Jawa. Orang Jawa tersebut biasanya akan
mendapat “ cap merah” dari orang njawani.
Orang njawani juga akan mendapatkan “ cap merah” dari orang ora njawani sebagai orang
yang kolot.
Dengan demikian,
kategori njawani dan ora njawani semata-mata menjadi ukuran
normatif orang Jawa. Ukuran ini memang tidak tertulis, tetapi berupa sandaran
lisan dalam tiap-tiap komunitas Jawa yang
masih dalam proses perkembangan terus-menerus. Karena percampuran budaya sulit
untuk dihindarkan, kaidah njawani dan ora njawani selalu berada dalam penataan
dan tidak pernah akan selesai. Namun demikian, orang Jawa masih memegang teguh
kriteria njawani sebagai orang Jawa asli dan ora njawani sebagai
orang Jawa blasteran ( tidak asli ). Orang Jawa asli merasa lebih berwibawa,
berjiwa priyayi, dan taat norma. Sebaliknya, orang Jawa tidak asli telah luntur
atau pudar nilai kejawaannya.
sumber: Endraswara,Suwardi.2003.Falsafah Hidup Jawa. Cakrawala:Yogyakarta
Budaya Jawa: Tulisan Jawa
Cerita Aji Saka yang
mengalahkan Dewatacengkar memiliki hubungan yang mendasari tulisan Jawa. Aji
Saka mempunyai dua orang pengiring yang bernama Dora dan Sembada. Sewaktu Aji
Saka berada di Medang Kamulan bersama dengan Dora, Sembada masih tinggal di
padepokan menjaga keris Aji Saka. Aji Saka berpesan kepada Sembada untuk tidak
menyerahkan keris itu kepada siapapun kecuali Aji Saka sendiri yang
mengambilnya. Setelah Aji Saka berhasil melaksanakan misinya, ia memberi
perintah kepada Dora untuk mengambil keris itu di padepokan. Sesampainya Dora di padepokan, ia segera menyampaikan
pesan kepada Sembada untuk mengambil keris titipan Aji Saka dan mengajak
Sembada pergi ke Medang Kamulan. Akan tetapi, Sembada tidak mau memberikan
keris itu karena Aji Saka sendirilah yang akan mengambilnya dan ia tahu bahwa
Dora sering berbohong. Sembada berjuang mempertahankan keris itu dan Dora juga
berjuang meminta keris itu. Pertentangan tidak dapat dielakkan. Awalnya
pertentangan masih secara halus lama-kelamaan menjadi adu kedigdayaan.
Akhirnya, mereka pun bertarung. Dora ditusuk dengan keris itu oleh Sembada dan
karena masih kuat, ia mengambil keris itu, lalu menusukkannya pada Sembada.
Akhirnya, keduanya pun mati.
Setelah
sekian lama Dora dan Sembada tidak muncul menghadap, Aji Saka baru teringat
akan pesan yang pernah diberikan kepada Sembada sebelum ia berangkat ke Medang
Kamulan. Ia pun segera menyusul ke padepokan untuk mencari Dora dan Sembada.
Tetapi yang ia dapatkan adalah kepiluan. Ia mendapati Dora dan Sembada sudah
mati dan kerisnya tergeletak di antara keduanya. Dengan sedih dan haru, ia
mengingat kesetiaan kedua pengiringnya dan terucap kata-kata hanacaraka
datasawala padhajayanya magabathanga. Sejak saat itu dan sesuai dengan
kata-kata yang diucapkan oleh Aji Saka, terbentuklah susunan huruf dan abjad
Jawa. Cerita tersebut diuraikan dalam huruf Jawa seperti berikut.[1]
Tahap
I : Hana caraka : ana utusan ( ada utusan )
Tahap
II : Data sawala : padha suwala ( saling bertengkar )
Tahap
III : Padha jayanya : padha
digdayane (sama saktinya)
Tahap
IV : Maga bathanga : dadi
bathang (menjadi bangkai)
Masyarakat
Jawa yang mengejar kesempurnaan hidup “ngudi kasampurnaning urip” dan
mengejar kebijaksanaan “ngudi kawicaksanan” selalu berorientasi pada lima huruf pertama
dalam deretan huruf Jawa. Lima huruf pertama itu maksudnya adalah :
Ha artinya haurip atau
urip yang artinya hidup merupakan salah satu sifat Yang Maha Esa.
Na artinya hana atau ana
yang artinya adalah ada. Ada alam
semesta yaitu kosmologi.
Ca artinya cipta yang
artinya adalah pikiran, nalar dan akal.
Ra artinya rasa dan
perasaan.
Ka artinya karsa yang
artinya kehendak atau kemauan.
Secara singkat arti tersebut dapat
disimpulkan bahwa manusia adalah ciptaan Allah yang dalam kodratnya mempunyai
cipta, rasa dan karsa. Hanacaraka merupakan suatu kesatuan yang terdiri
atas alam semesta, manusia dan Tuhan Yang Maha Esa.
Tulisan
Jawa terdiri atas beberapa unsur yang saling melengkapi. Unsur-unsur
tersebut misalnya aksara Murda
untuk menulis kata yang bermakna lebih atau berhubungan dengan ningrat, aksara
Rekan untuk mengatasi huruf-huruf abjad nasional, Swara untuk
menuliskan kata-kata khusus Pasangan, Sandhangan dan angka Jawa.
Tulisan Jawa melukiskan kehidupan dan sikap orang Jawa. Huruf Jawa tetap hidup
biarpun dipepet, dipengkal, diwulu, ditarung dan disuku, tetapi
huruf Jawa akan mati bila dipangku. Bagi orang non-Jawa yang belum
mengenal budaya Jawa akan sulit memahami tulisan tersebut, tetapi akan menjadi
paham bila dijelaskan oleh orang Jawa sendiri.
Makna
pernyataan hidup di atas adalah diperlakukan seperti apapun, orang Jawa tetap
gembira dan senang, artinya bebas melakukan apapun asal berkehendak baik. Orang
Jawa akan mati apabila “dipangku”. Maksud mati di sini adalah bahwa orang Jawa
tersebut tidak bebas, merasa tidak enak, rikuh. Orang Jawa akan “mati” apabila
dipuji, disanjung, dan dielu-elukan. Jadi, sikap orang Jawa masih memiliki
hubungan yang erat dengan tulisan Jawa.
sumber: Endraswara,Suwardi.2003.Falsafah Hidup Jawa. Cakrawala:Yogyakarta
Langganan:
Postingan (Atom)