Jumat, 24 Agustus 2012

Terima kasih Mbokdhe Ngajiyo


Mbokdhe Ngajiyo. Ia adalah tetanggaku. Jarak rumahnya dengan rumahku sekitar 50 meter. Umurnya kurang lebih 65 tahunan. Ia memiliki 8 orang anak, yang paling besar umurnya sekitar 40 tahunan dan yang paling kecil masih kelas 3 SMA. Pekerjaaan Mbokdhe Ngajiyo ini menjualkan barang-barang tetangga sekitarnya ke pasar Bantul, entah itu kelapa, pisang, daun pisang, ketela dan segala macam barang yang layak untuk dijual. Selain itu, kadang tetanggaku yang lain yang sedang punya hajatan, seperti selametan, kenduri memesan barang-barang kebutuhan untuk hajatan itu pada Mbokdhe Ngajiyo untuk dibelikan di pasar. Dulu, barang dagangan utama Mbokdhe Ngajiyo adalah kelapa, maka dia sering dijuluki Mbah Ngajiyo bakul kambil (penjual kelapa). Setiap jam 4 pagi, mbokdhe Ngajiyo sudah bersiap-siap untuk ke pasar menjual barang titipan tetangganya. Dengan menggunakan sepeda onthel yang dipasangi kronjot atau krondho (sejenis tempat barang yang terbuat dari bambu dan dipasang di boncengan sepeda), mbokdhe Ngajiyo berangkat ke pasar yang berjarak kurang lebih 5 km dari rumahnya. Dulu sebelum gempa bumi melanda Jogja, mbokdhe Ngajiyo berangkat ke pasar bersama suaminya. Tapi semenjak gempa itu, suaminya jarang menemaninya dan digantikan oleh anaknya yang laki-laki. Ketika aku kecil, aku pernah ikut berjualan dengan Mbokdhe Ngajiyo di pasar, hanya untuk melihatnya saja, apa yang dilakukannya ketika berjualan.
Rumah mbokdhe Ngajiyo ini sangatlah sederhana, tak berukuran luas tapi cukup untuk menampung keluarganya, bahkan ada beberapa anaknya yang tidur bersama, karena keterbatasan tempat. Kasur pun tak ada. Mereka hanya menggunakan dipan yang dilapisi dengan bagor  atau tidur langsung langsung di lantai dengan menggunakan tikar, perabot rumahnya pun sangat sederhana, tak ada hiasan yang terpajang di tembok rumahnya. Sungguh kehidupan mereka amat sangat sederhana. Cara memasaknya pun masih menggunakan kayu bakar, memang ada juga sih kompor gas bantuan pemerintah, tapi keluarga mbokdhe Ngajiyo lebih memilih untuk menggunakan keren (tempat perapian yang terbuat dari tanah liat). Untunglah mereka sudah memiliki kompa air, jadi sudah tidak perlu bersusah payah menimba air di sumur untuk keperluan mandi, memasak dan sebagainya.
Aku sering main ke rumah mbokdhe Ngajiyo ini, entah ngobrol dengan anak-anaknya ataupun dengan mbokdhe Ngajiyo sendiri. Keluarga mbokdhe Ngajiyo ini begitu polos ketika diajak ngobrol dan dari situlah aku menemukan kehangatan yang ada dalam keluarganya. Meskipun keluarga mbokdhe Ngajiyo ini tidaklah memiliki latarbelakang ekonomi yang berkecukupan, mereka mengajariku tentang makna perjuangan hidup. Ya, aku tak bisa membayangkan bagaimana kerja keras mbokdhe Ngajiyo ini untuk menghidupi keluarga besarnya. Apalagi dengan kondisi fisik yang sudah tidak muda lagi, pasti itu adalah perjuangan yang teramat berat. Namun di balik fisiknya sebagai seorang wanita, mbokdhe Ngajiyo memiliki daya semangat hidup yang tak seorangpun bisa menyainginnya. Tanggug jawab yang dimilikinya sungguh patut diteladani. Ia tak pernah mengeluh setiap hari harus bersusah-payang mengayuh sepede onthelnya dengan barang daganganya yang ada di boncengan sepedanya. Tak peduli udara dingin yang menerpanya setiap pagi, ia tetap berjuang untuk keluarganya. Sungguh perjuangan dan pengorbanan seorang ibu, orang tua yang ikhlas untuk keluarganya. Sampai saat ini, mbokdhe Ngajiyo masih setia dengan pekerjaanya, mengayuh sepeda miliknya dan membawa kedamaian untuk keluarganya.
Kadang, aku merasa malu dengan diriku sendiri. Kenapa? Aku memiliki kemampuan yang lebih dari cukup tapi kadang aku tak bisa mensyukuri, sementara mbokdhe Ngajiyo yang hidupnya sederhana bisa mensyukuri segala anugerah yang ada dalam hidupnya. Begitu piciknya aku ketika aku menyadari bahwa aku ingin ini, ingin itu tapi mata hatiku buta untuk melihat apa yang sudah aku miliki, selalu saja sifat dasar sebagai seorang manusia yang menginginkan lebih membujuk dan merayuku. Bersyukur, itulah kata yang belum banyak aku temui dalam hidupku dan dari kehidupan mbokdhe Ngajiyo ini, aku belajar banyak tentang perjuangan hidup, tentang rasa syukur terhadap hidup, tentang kesetiaan menjalani hidup dan tentang arti hidup itu sendiri. Hidup bagaimanapun juga memberikan begitu banyak pilihan kepada kita. Dan kita pun bebas menentukan apa yang menjadi pilihan atas hidup kita, tetapi ada juga orang-orang yang tidak memilih hidup untuk dirinya sendiri sehingga hidupnya pun menjadi terombang-ambingkan oleh pilihan orang lain. Terlepas dari itu, pilihan hidup yang kita ambil tidaklah berarti apa-apa jika kita tak bisa menghidupi pilihan itu. Ketika kita memilih hidup yang akan kita jalani, itu membawa konsekuensi apa yang akan kita lakukan untuk menyeleraskan antara pilihan hidup kita dengan kenyataan yang kita alami. Memang ada begitu banyak masalah yang timbul seiring perjalanan kita menempuh hidup. Tapi di situlah, makna perjuangan hidup, integritas hidup, kepercayaan hidup semakin tumbuh dan berkembang jika kita mau menghadapinya. Aku lebih suka menyebut hidup bukan tentang menang-kalah tetapi hidup adalah tentang bagaimana kita berjuang menghidupi kehidupan kita apapun situasinya. Semoga kita semakin setia dengan pilihan hidup kita dan mampu untuk berjuang dalam segala keterbatasan diri kita demi mendapatkan apa yang kita yakini dalam hidup ini. Ingatlah bahwa kita tidak sendirian dalam peziarahan hidup ini, ada Dia yang selalu menyertai.

Bantul, 24 Agustus 2012

Selasa, 21 Agustus 2012

Lemari itu adalah Hatimu


Siang ini, aku menata ulang isi lemari pakaianku. Lemari pakaian yang ada di kamarku berukuran kecil, mungkin tingginya sekitar 1 meter dengan 3 trap atau bagian, lebarnya pun tak kurang dari setengah meter. Bisa dibayangkan betapa kecilnya itu dan pakaianku pun tak terlalu banyak. Intermezzo: Ngomong-ngomong soal pakaian, aku termasuk orang yang jarang sekali membeli pakaian, termasuk celana, entah itu celana jeans, pendek dan panjang. Sepanjang hidupku sampai saat ini, pakaian yang aku beli bisa dihitung dengan jari. Pakaian yang aku miliki lebih banyak ada karena pemberian orang lain, entah itu kakakku, sodara sepupuku, atau sumbangan dulu ketika bencana gempa melanda Jogja. Dan kadang ada beberapa pakaian pemberian yang kurang aku suka, entah karena motifnya, warna, ukurannya, dan juga bentuknya. Aku pun mengkreasi ulang  pakaian yang kurang menarik itu, yaitu dengan membawanya ke tukang permak pakaian untuk sekedar mengecilkan ukuran, menambah aksesori tertentu atau menghilangkan bagian-bagian tertentu dari pakaian itu. Dan jadilah pakaian yang lebih nyaman aku pakai. Aku tak terlalu peduli bahwa pakaian itu harus mengikuti mode yang sedang berkembang, bagiku pakaian itu melambangkan siapa aku yang artinya ketika nyaman dengan apa yang aku kenakan itu sudah lebih dari cukup. Maka tak jarang, ada beberapa pakaianku yang sampai lusuh, jahitannya sudah mbrodoli, warna sudah amat pudar masih aku pakai. Entah apa kata orang melihat pakaianku itu, aku tak terlalu menghiraukan toh aku merasa nyaman dengan apa yang aku pakai. Orang lain mau komentar ini itu, itu urusan dia, ngapain juga aku tanggapi, hidup terlalu berharga untuk menanggapi urusan yang gak penting seperti itu, haha. Entah juga aku dianggap orang kuno, tak mengikuti jaman hanya gara-gara pakaian dan celanayang aku kenakan hanya itu-itu saja itu tak menjadi soal bagiku. Aku pede aja dengan apa yang aku pakai. Ngapain harus malu untuk menerima diri sendiri dan menjadi diri sendiri? Kalo hanya karena pakaian yang gak up to date lalu harus menyusahkan orang lain untuk membelinya, itu sama saja menambah penderitaan ke orang lain. Kalo memang punya kemampuan untuk selalu tampil yang up to date, lha itu aku tak akan mempersalahkan, tapi kalo hanya pengen ikut-ikutan tanpa menyadari kondisi yang dialami, bahwa ada yang lebih penting dari ngurusi pakaian, waaa itu sudah tidak benar. Tapi ya terserah mereka, toh itu juga hidup mereka, haha. Bagiku sendiri, aku tak pernah mempersoalkan pakaian seperti apa yang harus aku pakai, apa yang ada padaku sudah cukup karena aku menyadari itu juga adalah salah satu berkat Tuhan yang selalu mencukupkan aku dengan pemberianNya lewat orang-orang di sekitarku.

Kembali ke topik awal, soal lemari. Aku keluarkan semua isi lemari itu. Beberapa pakaian dan juga celana. Aku bersihkan lemari itu dan aku tata lagi pakaian dan sebangsanya. Ada beberapa pakaian yang belum sempat aku lipat, pun ada juga yang belum sempat aku setrika. Dan ketika semua pakaian beres, aku masukkan lagi (jan koyo wong ra duwe gawean tenan). Sekarang lemariku tampak lebih rapi dan terlihat indah dilihat. Dan tiba-tiba saja, aku jadi mendapat wangsit, halah… Aku melihat hati seorang manusia itu seperti sebuah lemari itu. Maksudnya adalah ada begitu banyak permasalahan yang berdiam dalam hati manusia, entah itu urusan relasi dengan orang lain, urusan kerja, dan urusan yang lainnya. Kadang masalah-masalah itu tak berada di tempat dengan porsi yang tepat. Ada juga urusan yang sebenarnya tidak penting tapi malah mendapat perhatian yang begitu banyak sehingga mengganggu jalannya aktivitas kehidupan. Atau malah ada persoalan yang sebenarnya sangat penting tapi tak mendapat perhatian. Itu semua bisa terjadi bila “lemari” hati kita tidak kita tata dengan baik, hanya asal-asalan. Aku pun kadang juga demikian, yang penting asal jalan tanpa memperhatikan mana yang lebih baik aku dahulukan. Ketika akhirnya hati kita bisa lebih tertata layaknya sebuah lemari yang isinya tertata dengan rapi, kita pun tak akan kebingunan jika harus menghadapi permasalahan karena sudah tau takaran kemampuan diri kita. Hati yang tidak tidak tertata dengan baik, akan menjadi batu sandungan bagi kita dalam menghadapi sebuah masalah ataupun situasi di mana kita dituntut berperan lebih banyak, padahal kita tidak tahu kapan saatnya itu akan terjadi. Maka dari itu, penting untuk menata hati dengan segala kondisi dan isinya supaya hidup ini pun menjadi sebuah perjalanan yang mengasikkan dan bukan penuh penyesalan. Memang hati yang kita tata tidak serta merta akan memberi dampak yang langsung terasa untuk hidup kita, namun dengan hati yang tertata dengan baik, kita punya pegangan untuk mengambil keputusan dengan bijak, bukan karena dorongan nafsu semata.

Ternyata dari lemari yang begitu kecil itu, ada begitu banyak pemahaman dan pencerahan yang bisa aku dalami. Bahwa dalam hidup ini pasti ada begitu banyak hal-hal yang bisa kita dalami dari hal yang kecil yang seolah tak penting dalam hidup ini. Yang dibutuhkan hanya kepekaan diri untuk mau mendalami hidup ini, tidak perlu menunggu datangnya sebuah peristiwa yang besar baru kita dalami hidup ini. Justru sesuatu yang besar itu datang dari hal-hal yang kecil, tergantung kita mau memaknai atau tidak. Sudahkah kamu melihat dan memperhatikan hal yang terasa kecil bagimu?

Jhombeng, 21 Agustus 2012

Senin, 20 Agustus 2012

Lihatlah lebih Dekat, maka Kau akan Mengerti


Butuh bertemu dengan diri sendiri untuk memahami kemauan Tuhan. Sampai saat ini pun aku masih bergelut dengan diriku sendiri demi menyelaraskan kehendak/keinginanku dengan apa yang sebenarnya dikehendaki Tuhan. Bagiku Tuhan itu selalu memberiku kesempatan untuk lebih dekat mengenaliNya, meski kadang aku mengedepankan sisi keegoisanku sebagai seorang manusia yang selalu ingin apa yang aku kehendaki bisa terlaksana. Kadang memang keinginanku bertolakbelakang dengan apa yang dimaui Tuhan. Aku minta A Tuhan malah mengasih B, giliran aku minta B Tuhan ngasih C. Ya, itulah hidup, selalu banyak peristiwa yang tidak bisa dicerna dengan mata telanjang, apa adanya. Butuh pemahaman rasa dan pikiran, seperti kisahku ini.

Sampai saat ini aku masih memiliki mimpi terpendam untuk bisa kuliah di jurusan psikologi, meski kenyataanya aku kuliah di jurusan akuntansi. Jika memang aku ingin kuliah di psikologi kenapa aku malah kuliah di akuntansi? Semua berawal ketika aku masih kelas 3 SMA. Menjelang kelulusan, aku menghadapi kenyataan bahwa orang tuaku tak cukup mampu untuk membiayai kuliahku, padahal aku sudah punya cita-cita untuk melanjutkan ke perguruan tinggi jurusan psikologi, tentunya. Aku begitu tertarik untuk masuk psikologi karena ada rasa ketertarikanku untuk mendalami tingkah laku manusia. Masing-masing orang itu berbeda dan pasti punya kepribadian yang unik dan itulah yang membuatku selalu ingin tahu, kenapa manusia bisa bersikap seperti itu atau dalam diri sesosok manusia itu, apa saja yang telah membentuknya. Karena alasan ketertarikan dan sudah terlanjur jatuh cinta itulah aku ingin sekali melanjutkan ke jurusan psikologi. Namun, rupanya kenyataan sedang tak bersahabat denganku waktu itu. Aku terkendala biaya. Di saat seperti itu, yang bisa aku lakukan hanyalah memohon bantuan Tuhan untuk campur tangan dalam hidupku. Tidak ada cara lain selain berdoa dan berserah diri, dan aku percaya bahwa Tuhan pasti akan member jalan keluar apapun keadaanku. Akhirnya, jalan terang itu memang ada. Romo pembimbing rohaniku, membantuku mencarikan seorang donatur yang mau membiayai seluruh biaya kuliahku. Waaow. Bagiku ini adalah sebuah berkat yang tak ternilai harganya. Di saat aku merasa sudah mentok jalan yang akan aku lalui, ternyata Tuhan memberiku jalan tol serasa bebas hambatan. Syukur pada Tuhan.

Aku pun segera mendaftar jurusan psikologi di Universitas Sanata Dharma dan aku diterima di sana. Wuih, mimpiku serasa sudah diambang kenyataan, tinggal melengkapi syarat-syarat yang diajukan aku resmi menjadi mahasiswa Sanata Dharma jurusan psikologi, haha. Tetapi cerita berkata lain. Donaturku menyarankan aku untuk mencoba mendaftar di universitas negeri, UGM. Whaat?!?! Aduh kenapa harus mendaftar di sana juga, toh kan aku sudah diterima di Sadhar? Ingin rasanya aku menolak, tapi apa mau dikata, yang akan membiayai kuliahku nanti kan donaturku, dicoba dulu sajalah, toh aku juga belum pasti diterima di UGM. Begitulah aku menenangkan diri. Segera aku mendaftar di UGM lewat jalur Ujian Tertulis bersama 4 teman sekolahku dan aku pilih jurusan akuntansi, komunikasi lalu psikologi. Dalam hati kecilku, aku berharap semoga aku tidak diterima UGM, ckck contoh pelajar yang pego, di saat pelajar-pelajar lain berebut satu kursi supaya bisa diterima di UGM, aku malah tak menginginkannya. Tapi, itulah kenyataan yang aku alami. Aku sudah terlanjur jatuh cinta di psikologi dan rasanya berat ketika harus meninggalkan jurusan itu. Maka dengan persiapan seadanya, aku ikut tes masuk UGM. Semua soal aku kerjakan dengan kemampuanku seadanya dan aku sudah meyakinkan diri, pasti aku lolos tes masuk ini. Ternyata, kenyataan berbicara lain. Tuhan tak sependapat denganku. Aku lolos tes masuk UGM dan diterima di jurusan akuntansi. Wuaaaa, kok malah lolos sih? Dari 5 orang asal sekolahku, hanya 2 orang yang diterima di UGM, termasuk aku. Harusnya aku senang menerima kenyataan itu, tapi sebaliknya aku malah agak kecewa menerimanya. Kenapa harus aku yang diterima di UGM, kok tidak temanku saja? Aduh Tuhan, aku diterima di psikologi Sadhar saja sudah cukup untukku kenapa Engkau malah memberiku di akuntansi UGM juga? Kamu gak sedang bercanda kan, Tuhan? Bingung, kecewa, sedih, tak karuan itu yang aku rasakan menerima berita aku lolos tes masuk UGM. Dengan terpaksa aku harus melepaskan mimpi yang sudah di depan mata (kuliah psikologi di Sadhar) dan dengan berat hati aku harus kuliah di jurusan akuntansi UGM. Ingin aku protes kepada Tuhan, tapi setelah aku menenangkan diri, mungkin ini memang jalan yang terbaik untukku. Sudah ada donatur yang membiayai kuliahku saja sudah cukup dan aku tidak ingin menambah masalah dengan memprotes keputusan Tuhan. Apalagi bagi keluargaku, ada anggota keluarga yang bisa melanjutkan bangku perkuliahan saja sudah merupakan kemajuan besar, meninggikan derajat keluarga. Aku terima saja, mendapat kesempatan untuk kuliah saja sudah merupakan berkat untukku, tidak perlu ngoyo mengejar mimpi itu. Dan ini adalah bukti, bahwa keinginanku dengan keinginan Tuhan itu berbeda, meski kelihatannya sama.

Singkat kata singkat cerita, aku pun kuliah di UGM, jurusan akuntansi meeen. Kata orang, jurusan ini adalah jurusan yang punya grade/kualitas yang  terbilang bagus  di Indonesia, tapi bagiku tak ada artinya. Buat apa kuliah di universitas ternama kalo tak didasari pilihan hati? Rasanya berat. Semester pertama nilai IP tak baik-baik amat, cukup 2,99. Tuh kan? Aku tak berbakat di jurusan akuntansi. IP 3 aja gak sampe, padahal aku mendapat predikat Magna Cum Laude ketika lulus dari Seminari Mertoyudan (ceritane sombong, haha). Semester kedua aku jalani dengan agak serius karena agak terpaksa memang badanku ada di akuntansi tapi hati dan pikiranku ada di psikologi. Melihat teman-temanku yang begitu sungguh-sungguh ingin meraih nilai yang bagus, aku tak tertarik untuk mengikutinya. Aku hanya mengikuti sungai yang mengalir saja dan tak berusaha untuk mengendalikannya. Ya, berusaha sebisaku saja, toh kalo aku paksakan aku malah takut bisa-bisa aku jadi gila, haha. Di penghujung semester dua, nilai IP ku naik menjadi, 3,31. Wuiih, lumayan ada peningkatan, kataku menghibur diri. Kelihatannya cerita hidupku akan berlangsung mulus, tetapi hidup itu tak semudah yang dibayangkan. Tiba-tiba saja, donaturku menghentikan bantuan dana ketika semester tiga. Aku mencoba mencari kejelasan tapi tak ada hasil. Aku kelimpungan. Bagaimana ini, BOP sebagai syarat mengikuti ujian mid semester dan ujian akhir belum aku bayar, sementara tenggat waktunya sudah mulai habis dan orang tuaku pun tak punya uang dengan segera. Ah Tuhan, kenyataan apalagi ini? Mimpiku kuliah di psikologi telah Kau buyarkan sekarang Kau hadapkan aku pada kenyataan seperti ini. Benar-benar menyulitkan. Dan semester tiga pun harus aku relakan dengan tidak mengikuti ujian karena aku telat membayar BOP. Gagal.

Menghadapi situasi semacam itu, aku tak bisa berpikir dengan tenang. Dan hatiku memainkan peranan yang lebih tinggi. Keinginanku untuk kembali ke jurusan psikologi tumbuh lagi. Aku sudah merencakan untuk keluar dari UGM dan mencoba masuk ke psikologi Sadhar lagi. Mungkin ini memang jalanku untuk kembali mewujudkan mimpiku. Ya, saat itu aku yakin sekali ini adalah jalan Tuhan untuk meraih mimpiku, psikologi. Ternyata oh ternyata, ketika aku menyampaikan keinginanku untuk keluar dan masuk psikologi tak sependapat dengan orang tuaku. Mereka mengharapkan aku tetap melanjutkan kuliah akuntansi apapun keadaannya. Aku menarik napas dengan berat, orang tuaku tak setuju. Aku mencari cara lain supaya bisa pindah ke psikologi. Akhirnya aku menemui romo mantan pembimbing rohaniku dulu, meminta bantuan sapa tau beliau punya kenalan yang mau menjadi donaturku. Usahaku gagal lagi, beliau tak bisa membantuku lagi. Dengan terpaksa aku pun harus mengubur mimpiku lagi dan meneruskan kuliah di akuntansi. Kondisiku sudah amat parah, antara hati, pikiran, raga tidak selaras lagi. Hati dan pikiran ada di psikologi tetapi ragaku ada di akuntansi. Aku tak bisa hidup dengan kondisi seperti itu. Aku menjelma menjadi seorang pemain sandiwara dengan topeng yang maha sempurna. Keluargaku mengira aku masih kuliah di akuntansi, tapi kenyataannya aku tak pernah masuk kuliah. Aku selalu memberikan kabar yang baik tentang kuliahku supaya mereka tidak tahu apa yang terjadi sesungguhnya (baca: berbohong). Aku menjadi orang yang bebal, durhaka, dan aku menjadi orang yang bukan diriku lagi. Aku merasa menjadi orang asing dalam hidupku. 2 tahun aku menjadi seorang bajingan kecil, menyia-nyiakan waktu kuliahku, tak menghargai kepercayaan orang tuaku yang bersusah payah membiayai kuliahku. Aku benar-benar tak punya aturan dan hidupku benar-benar kacau saat itu. Tak tahu apa yang mesti aku lakukan untuk membuat hidupku menjadi lebih baik. Sampai akhirnya, aku tersadar bahwa aku sudah membuang kesempatan yang amat besar dalam hidupku, waktu. Ya, aku harus mengakhiri periode gelap ini. Sudah cukup aku merasakan menjadi seorang penipu, tak tahu diuntung. Apapun kenyataan yang akan aku alami -jika aku menceritakan hidupku yang sesungguhnya- entah aku akan dimarahi habis-habisan, diusir dari keluarga, tak dianggap anak lagi atau kenyataan buruk apapun aku siap menerimanya. Aku harus bertanggungjawab atas tindakanku. Itu sudah resiko. Tapi, semuanya di luar bayangan burukku. Bapak ibuku tidak marah samasekali, mereka hanya sangat menyayangkan kenapa bisa seperti itu, membuang waktu, tenaga, biaya dengan percuma. Yah, aku juga bingung bagaimana harus menjawab, karena saat itu aku juga tak bisa berpikir dengan baik.

Selesai sudah masalah pengakuan diri. Saatnya memikirkan kelanjutan hidupku, mau aku apakan ini? Melanjutkan kuliah di akuntansi atau mencoba mengejar mimpi kuliah di psikologi? Dengan bantuan kakakku, aku dijadikan anak angkat seorang ibu yang baik hati dan kakakku pulalah yang membantuku meraih mimpiku, kuliah psikologi. Aku dikenalkan dengan dekan jurusan psikologi Sanata Dharma dan aku jelaskan pula maksud dan tujuanku, bahwa aku ingin kuliah di sana dan berharap ada beasiswa yang bisa aku dapatkan. Dan ternyata memang ada beasiswa, yang penting aku harus diterima di psikologi Sadhar dulu. Aku pikir saat-saat itu adalah saat mimpiku akan menjadi kenyataan. Aku sudah diterima di psikologi Sadhar lewat jalur tes regular dan kini aku akan mengurus beasiswa itu. Aku sudah yakin bahwa ini mungkin memang jalanku, aku harus melewati jalan yang berliku untuk sampai di mimpiku. Sayang, aku menjadi pesimis mengajukan beasiswa itu karena ada beberapa persyaratan yang tidak bisa aku penuhi dan tidak ada kepastian aku bisa memperoleh beasiswa itu. Wuaaa. Aku harus melepaskan mimpiku lagi?? Tuhan, Tuhan kenapa Engkau seolah-olah bermain denganku? Aku capek Tuhan harus membuang mimpiku lagi. Aku sudah di ambang pintu lalu Kau membuang pintu itu. Aah, cerita apa lagi yang harus aku mainkan ini? Benar-benar kenyataan sulit yang aku dapatkan ini. Satu bukti lagi bahwa kehendak Tuhan itu memang berbeda dengan kehendakku.

Aku lelah bermain dengan Tuhan. Aku capek menghadapi situasi di mana aku tak didukung Tuhan. Dan dalam situasi seperti ini, aku pelan-pelan mencoba mengerti dan memahami, sebenarnya maksud Tuhan itu apa dengan hidupku ini? Sudah dua kali Ia “menggagalkan” mimpiku menjadi kenyataan. Apakah Ia memang mendukungku? Atau sebenarnya Ia hanya ingin terus bermain-main dengan hidupku? Begitu banyak pertanyaan yang muncul di otak dan hatiku. Kenapa aku mengalami kenyataan seperti ini? Hanya kesadaran dan penerimaan yang kemudian mengarahkan aku untuk memahami kehendak Tuhan. Aku sadar tentu Ia punya maksud ketika dulu aku diterima di UGM. Itu pasti, tidak ada yang terjadi kebetulan. Semuanya pasti ada maksud dan tujuannya. Lalu apakah maksud dan tujuan Tuhan untukku? Tuhan pasti tahu apa yang menjadi mimpiku tapi kenyataannya Ia memberikan kesempatan yang bertolakbelakang dengan mimpiku. Aku menjadi sadar bahwa selama ini aku terlalu mengedepankan idealismeku tanpa memperhatikan keadaan yang ada padaku. Aku tak menerima kenyataan yang menjadi hidupku. Bahwa aku menolak apa yang sudah diberikan Tuhan untuk hidupku, padahal Ia memberikan jalan yang baik untukku. Kadang aku memang hidup dalam duniaku sendiri dan melupakan bahwa Tuhan pun sebenarnya ingin selalu bersamaku. Lewat pengalaman yang serba berliku ini, aku menjadi sadar bahwa Ia pun memberiku kesempatan untuk bertemu dengan diriku sendiri. Ia memilih aku untuk mau berjuang meskipun pilihan itu bukanlah pilihanku. Ia hanya memintaku untuk berjuang dan menyerahkan segala sesuatunya tanpa pernah mengeluh. Kalo aku perhatikan, memang aku lebih banyak mengeluh dibandingkan bersyukur dan menerima. Bahwa ada saatnya ketika aku harus mengasingkan diri untuk melihat segala sesuatu lebih dalam, seperti yang aku alami ini. Jika aku mau berserah diri pada Tuhan rasanya hidup akan jauh lebih ringan dan enteng meski semuanya penuh dengan masalah. Tuhan memberiku pengalaman ini, untuk membentukku menjadi pribadi yang kuat, tak gampang menyerah, mau berusaha, dan terutama agar aku lebih percaya lagi kepadaNya. Hidup memang lebih berat dari apa yang bisa aku bayangkan, namun semua tidak ada yang tidak mungkin jika Tuhan mau campur tangan dalam hidupku. Dan itu artinya, aku harus membuka diriku akan kehadiranNya. So, sebenarnya Tuhan mau apa dengan hidupku? Ia hanya ingin aku berusaha dengan segala kemampuanku memperjuangkan apa yang telah diberikanNya untukku. Itu saja. Berusaha, dan berserahdiri. Berusaha menjadi pribadi yang lebih baik dan menyerahkan segala sesuatu pada Tuhan. Dan kini aku pun akan berusaha semampuku untuk menyelesaikan kuliahku di akuntansi, meski aku tak memilih itu, tapi aku percaya Tuhan memang telah memilihku untuk tugas ini. Kalo Dia sendiri yang memilihkan untukku, pasti Dia pula yang akan membantuku untuk menyelesaikan tugas perutusan ini. Meskipun aku sudah membuang waktu dan aku terima bahwa aku pernah memiliki masa lalu yang agak suram, itu bukanlah aku yang sekarang. Aku hidup di masa kini dan siap untuk menyongsong masa depan yang lebih baik. Tak peduli omongan orang, aku hanya ingin berusaha yang terbaik untuk hidupku ini.

Lihatlah lebih dekat, maka kau akan mengerti.
20 Agustus 2012


Sabtu, 18 Agustus 2012

Cerita dari Gembira Loka


Gembira Loka. Pertama kali aku ke sana yaitu ketika aku masih tercatat sebagai anak TK dan itu sudah hampir 18 tahun yang lalu. Setelah sekian lama tak pernah melihatnya, hari ini aku mendapat kesempatan untuk berkunjung ke Gembira Loka sekedar refreshing. Kalo bukan karena ajakan keluarga baruku, mana mungkin aku bisa ke sana lagi, lha wong untuk beli tiket masuknya saja sudah lumayan mahal, apalagi harus memakai uang sendiri, mending ga usah, haha. Maka dari itu, aku bersyukur karena aku mendapat kesempatan untuk menikmati suasana yang menyenangkan ini.

Di Gembira Loka, ada begitu banyak binatang (yaiyalah, namanya saja kebun binatang). Segala jenis binatang terdapat di sana, mulai dari sebangsa reptil, mamalia, burung, ikan, dan masih buanyak lagi. Bentuk dan rupa binatangnya pun beraneka ragam dan itu yang membuatku takjub, betapa hebatnya Tuhan itu menciptakan setiap hewan lengkap dengan keindahan dan keunikan masing-masing (kita pun harusnya bangga karena kita juga salah satu ciptaan yang dibuat serupa dengan Dia). Ular misalnya, ternyata ada begitu banyak macam ular, warna dan motifnya pun berbeda-beda. Ada juga ikan yang guedhe sebesar guling bahkan lebih besar lagi, aku sampai terkagum-kagum, ndomblong ketok ndesone, haha. Apalagi ketika aku melihat burung-burung yang ada di sana, wuiih indah nian bulu-bulu mereka. Semuanya sungguh amat indah. Tetapi di antara bermacam-macam keindahan yang aku temui di sana, ada satu hewan yang membuat aku penasaran atau mungkin lebih mengarah pada rasa iba. Aku melihat seekor tapir sendirian di kandangnya. Ia sedang makan rumput eh bekatul ding. Badannya gemuk, sehat, tapi aku melihat kedua matanya mengeluarkan air mata seolah ia mau berkata bahwa ia sedang menangis menanggung kesedihan. Dalam hatiku pun timbul rasa belas kasihan menyaksikan peristiwa secamam itu. Coba kalo tapir itu bisa diajak ngobrol, pasti aku bisa tau kenapa ia berlinang air mata seperti itu. Pikiranku pun mencoba menganalisa, kira-kira tapir itu kenapa ya?hm, aku rasa dia sedih tinggal di kandang itu sendirian seorang diri jauh dari habitat asli dan kawanannya. Kalopun ada keramaian, itu pun hanya pengunjung yang setiap hari datang melihatnya tapi tak tau apa yang dia rasakan. Mungkin sangat pas dengan salah satu lagunya Dewa, di dalam keramaian aku merasa sepi..huhu. Dan aku pun jadi kepikiran dengan nasib binatang-binatang lainya yang ada di Gembira Loka, burung-burung yang tak pernah merasakan kepakan sayap mereka ketika terbang karena hanya mendekam di sangkar besi, ular-ular yang tak pernah merasakan aroma tanah karena harus mendekam dalam kotak kaca, ataupun sebangsa kera,monyet,orang utan yang harus tinggal dalam kurungan besi tak pernah merasakan aroma hutan, dan masih banyak lagi hewan yang terkurung di sana. Ah, kenapa mesti ada kebun binatang kalo hewan-hewan yang ada di dalamnya tak merasakan kebahagiaan sebagai mahkluk hidup yang punya hak untuk hidupnya sendiri?

Aku pun jadi merenungkan kehidupan ini. Aku tak bisa membayangkan bagaimana nasib seseorang yang hidupnya tak pernah bisa bertemu dengan “kebebasan”? Akan menjadi seperti apa hidup manusia ketika ia tak bisa lepas dari keterikatan dengan waktu, lingkungan, keadaaan, masa lalu atau sesuatu yang membelenggu dirinya? Pasti akan sangat menghambat orang untuk bisa menjadi dirinya sendiri. Ia tidak bisa mengeluarkan semua daya kemampuan dan keahlian yang dimilikinya karena ia terkekang oleh keterikatan. Ya, aku rasa setiap orang memang membutuhkan kebebasan untuk mengaktualisasikan kemampuan dirinya. Ketika akhirnya orang bisa membebaskan dirinya dari keterikatan yang mengekang daya kreativitasnya, ia memiliki modal besar untuk mengekspresikan dan mengungkapkan semua pikiran, ide dan daya imajinasi yang ada dalam dirinya.

Jumat, 17 Agustus 2012

Semarang



Aku selalu bersemangat ketika aku mendengarkan kata “semarang” dan dalam pikiranku langsung terbayang akan kehidupan di kota itu. Aku memang bukanlah orang asli Semarang, namun aku merasa dekat dengan kota itu. Apa alasannya, itu yang menjadi pertanyaan dalam hatiku. Kata orang, ada yang namanya reinkarnasi. Reinkarnasi itu kurang lebih berarti kembalinya jiwa seseorang di masa lalu ke masa kini, tentunya dengan raga yang berbeda. Karena reinkarnasi inilah ada yang namanya de javu, suatu keadaan di mana jiwa seseorang seperti sudah mengalami/mengenal di mana ia berada atau dalam suasana yang sama. Mungkin itu juga yang terjadi padaku. Jangan-jangan aku ini adalah hasil reinkarnasi jiwa yang dulu pernah tinggal di kota Semarang. Hahaha.

Aku pertama kali mengenal kota Semarang ketika aku masih kelas 0 di Seminari Mertoyudan. Waktu itu ada misa akbar pelajar se-Keuskupan Agung Semarang di GOR Jatidiri, Semarang. Sejak pertama kali berkunjung ke Semarang inilah, dalam hatiku timbul semacam suara yang berkata  suatu saat aku akan kembali ke kota ini. Aku merasa sudah tak asing dengan suasana yang ada waktu itu. Rasanya aku pernah ada di sana meski itu baru pertama kali aku mengenalnya. Ketika akhirnya misa itu selesai dan aku harus kembali ke Seminari, secuil hatiku seperti sudah tertinggal di sana. Kelas 1 Seminari Mertoyudan, aku mendapat kesempatan untuk home stay di kota Semarang, tepatnya di daerah Tanah Mas. Lagi-lagi Semarang. Aku tinggal di sebuah keluarga Katolik, selama 5 hari 4 malam. Suasana yang ada pun seperti sudah aku kenal. Dan aku merasa nyaman tinggal di kota itu. Walaupun hawanya panas dan gersang, entah kenapa aku tetap merasa nyaman. Apa memang Tuhan menghendaki suatu saat nanti aku tinggal di kota ini?? Ah aku tak tahu pasti. Yang jelas, aku sudah terlanjur jatuh cinta dengan kota Semarang. Kenaikan ke kelas 2, aku tergabung dalam orkestra Seminari mendapat undangan untuk tampil bersama IBA dan orkestra SMM (sekolah menengah musik) Bantul di Hotel Horison Semarang. Tuh kan Semarang lagi, Semarang lagi. Mungkin sudah takdirku kali untuk dekat dengan kota ini. Sebelum konser itu dimulai, aku dan rombongan menginap di paroki Kebondalem, Semarang. Daerahnya di pinggiran kali, entah kali apa namanya aku tidak tahu karena aku juga tak sempat kenalan. Hohoho. Ketika malam, aku dan beberapa temanku jalan-jalan di sekitar daerah situ. Suasananya begitu akrab untukku. Keramaiannya, jalanannya,orang-orangnya, pokoknya apapun yang ada di situ seolah-olah aku telah mengenalnya. Nyaman aja ketika aku baru pertama berkunjung ke suatu daerah dan sudah merasa sudah bertahun-tahun aku tinggal di daerah itu. Ketika akhirnya aku tampil konser di Hotel Horison pun suasananya tak jauh berbeda. Aku berada di atap hotel itu dan dari situ aku bisa melihat pemandangan kota Semarang di malam hari, benar-benar menentramkan seperti aku pulang ke rumahku sendiri. Lanjut saat aku kelas 3 di Seminari Mertoyudan. Persiapan kelulusan akhir, waktu itu angkatanku mengadakan penggalangan dana untuk membiayai acara Hari Orang Tua Medan Utama. Salah satu agendanya adalah mengisi paduan suara lengkap dengan orkestra serta menjual merchandise di paroki Tanah Mas. Wuih. Lagi-lagi Semarang. Ketika akhirnya aku dan angkatanku ke sana pun, aku seperti sudah biasa dengan kotanya, suasananya, udaranya, hawanya, kebisingannya,panasnya, dan segala yang ada di kota Semarang. Dan sejak dari itulah, rasa kedekatanku dengan Semarang semakin kuat.

Ketika tiba saatnya aku harus meninggalkan Seminari karena sudah lulus, aku pun semakin punya banyak kesempatan untuk mengunjungi Semarang. Kenapa?karena aku sempat dekat dengan seorang cewek yang tinggalnya di Semarang. Beberapa kali aku menempuh jarak Jogja-Semarang sekitar 110 km dengan sepeda motor bututku hanya untuk sekedar menemuinya. Kerapkali aku harus berhadapan dengan kendaraan-kendaraan besar, semacam bus gedhe2, truk kontainer, dan segala macam kendaraan. Pernah suatu kali aku nekat malam-malam ke Semarang hanya untuk memberikan ucapan selamat ulang tahun dan memberikan sebuah kado untuk tambatan hatiku itu. Waktu itu aku berangkat jam 7 malam dan sampai Semarang jam 11 malam dan aku belum punya SIM. Gilaaak. Benar-benar nekat, seperti kata pepatah Latin, amor vincit omnia alias cinta mengalahkan segalanya, logika sepertinya sudah mati..hahahaha. Bagiku itu adalah sebuah pengalaman yang tak akan pernah aku lupakan. Benar-benar member kesan yang amat mendalam. Sampai saat ini pun kadang aku bertanya-tanya, kok dulu bisa melakukan tindakan semacam itu ya??waaaow..hahaha. Meskipun sekarang aku tak dekat lagi dengan seseorang itu, aku tetap merasa dekat dengan kota Semarang. Aku memang tinggal di Jogja dengan segala keramahannya, namun bagiku tiada kota yang begitu mempesona selain Semarang. Betapapun  kota Jogja berhati nyaman, aku tetap merasa kota Semaranglah yang paling nyaman untukku, mungkin karena sudah terlanjur jatuh cinta kali ya. Seburuk apapun kota Semarang, bagiku itu bukanlah menjadi masalah karena memang hatiku sudah ada untuknya apapun situasinya. Kalopun aku menyebut aku adalah hasil reinkarnasi jiwa seseorang yang pernah tinggal di Semarang ini, itu bukanlah kesalahan, karena mungkin itu ada benarnya juga. Tetapi  aku lebih menekankan pada soal hati dan rasa yang aku miliki untuk kedekatanku dengan kota Semarang ini. Dan aku memiliki sebuah katakanlah mimpi atau cita-cita, aku ingin tinggal di kota Semarang suatu saat nanti. Sekarang aku ingin menyelesaikan kuliahku terlebih dahulu. Baru setelah lulus nanti aku sudah punya angan-angan untuk merantau ke kota Semarang demi mengungkapkan kerinduanku untuk selalu dekat dengan kita Semarang. Dan jika memang Tuhan memberiku kesempatan untuk lebih dekat dengan Semarang, Ia pasti akan memberikan jalan dan aku percaya itu. Yang bisa aku lakukan adalah memohon supaya mimpiku itu dikabulkan. Amin.

Jogja, 17 Agustus 2012


Obrolan Tengah Malam

Kadang aku bertanya-tanya, kok bisa ya orang yang putus  dg pasangannya -entah itu cewek atau cowok- bisa mendapatkan pasangan yg baru dalam waktu yang relatif cepat? Kira-kira apa ya yang membuat mereka bisa secepat itu menemukan "yang baru" dalam hidup mereka? Atau sebenarnya apa sih yang mereka cari? Hm.. Berbagai macam pertanyaan selalu mengusik pikiran dan perasaanku ketika aku mencoba memahami kenyataan yang sering aku temui  itu. Dan selalu saja aku tak bisa memastikan ada satu jawaban yang menjadi dasar untuk semua pertanyaan yg terlontar dalam pikiranku. Atau mungkin aku yang terlalu bodoh dan picik memaknai kata "rasa" dan "cinta", seolah kedua kata itu hanya bisa ada dalam satu wujud manusia.

Banyak di antara temanku, ketika mereka putus dengan pacar mereka, tak begitu lama, hanya dalam hitungan bulan mereka sudah mendapatkan pacar baru. Dalam hatiku, aku hanya bisa bertanya,"Wuiih, kok bisa ya?" Sementara aku, harus menunggu bertahun-tahun untuk bisa "lepas landas" meninggalkan cerita masa laluku. Dulu, aku pernah berpacaran ketika kelas 3 SMP selama 6 bulan dan terpaksa harus diakhiri karena kenyataan aku harus melanjutkan pendidikan ke Seminari Mertoyudan. Kata orang, masa pacaran di masa sekolah ada masa pacaran cinta monyet, tapi bagiku pengalaman itu menjadi pengalaman yang mendalam. Ketika akhirnya aku harus melanjutkan pendidikan SMA dan tinggal di asrama pun pikiranku masih tak bisa lepas dari dia, mantan pacar SMP itu.  Kadang aku selalu ingin mencari tahu segala informasi tentang dia, entah lewat friendster -waktu itu baru boomingnya FS- atau sekedar menanyakan pada teman lamaku, meski aku tahu dia sudah punya pacar dan tentu saja dia pasti tak pernah memikirkanku. Tapi itulah aku, ketika hatiku sudah tertambat pada satu nama, aku akan sulit untuk menghapuskannya walau aku tau sudah tidak ada jalan untuk bisa bersama. Sampai akhirnya aku baru benar-benar bisa melupakan mantan pacar SMP itu ketika aku kelas 2 SMA. Edyaan. Butuh waktu 4 tahun men. ckckc. Kadang aku tersenyum sendiri ketika mengingat-ingat pengalaman ini.

Keadaan itu pun tak jauh berbeda dengan sekarang.  Dalam hatiku sudah tertanam nama seorang wanita yang bagiku adalah nama terindah yang pernah aku temui (cieee) dan aku tak pernah tau akan sampai kapan nama itu berada di sana. Tuhan itu punya cara unik untuk memberikan sebuah kejutan. Awalnya, pertemuanku dengan dia terjadi secara tak sengaja (atau mungkin memang disengaja oleh Tuhan) dalam sebuah acara bersama. Waktu itu aku naik ke kelas 3 SMA tahun 2008. Kedua mataku menangkap sesosok wanita yang mengusik rasa perhatian dan keingintahuanku,"Who is that girl?" Sepanjang acara itu berlangsung selama 3 hari 2 malam, kedua mataku ini tak pernah lelah bergerilya di antara sejuta manusia mencari di mana ia berada, pasang tampang sok cool, sok keren, sok calm, berharap kali aja dia juga tertarik (pede, haha). Tapi untuk sekedar mengajaknya berkenalan saja, ga berani, haha payah ! Hingga tiba saatnya acara itu selesai, aku berharap semoga saja ada kesempatan untuk mengenalnya lebih dekat dan itu rasanya seperti mimpi waktu itu, tau nama orangnya saja tidak, bagaimana mungkin bisa mengenalnya? Tapi Tuhan itu memang ahlinya memberi kejutan. Kelas 3 SMA menjelang kelulusan tahun 2009, aku mendapat jalan terang untuk mengenal siapa dia yang menjadi perhatianku setahun yang lalu. Singkat kata, singkat cerita akhirnya aku menjadi akrab dan dekat dengan dia. Dan mulai sejak itulah pelan-pelan namanya masuk dan tinggal di dalam hatiku. Meski aku tau, dia masih punya pacarnya dan mungkin aku menjadi pelariannya, sepertinya rasa cinta bisa menerima setiap kekurangan yang ada, walaupun pada kenyataanya memang ada rasa cemburu, jengkel, gregetan. Tapi itulah seninya orang jatuh cinta, membuat hidup penuh warna dan rasa. Sejalan dengan waktu, aku dan dia sama-sama tau memiliki “rasa” yg sama dan tumbuh rasa percaya antara aku dan dia. Frekuensi ketemuan memang  tak terlalu banyak, tapi entah kenapa aku merasa dekat dengannya meski ada jarak yang cukup jauh memisahkan kami. Namun, bagiku itu adalah pengalaman yang menyenangkan sekaligus menantang. Sayangnya, rasa dan cinta itu bukan semata-mata ada hanya karena adanya rasa percaya. Bagaimanapun wujudnya rasa cinta mau tidak mau akhirnya menuntut adanya kehadiran karena tanpa kehadiran sosok orang yang kita cintai akhirnya akan menjadi kehampaan dan kehambaran. Hubungan di antara kami berada di titik stuck, tidak bisa maju dan tidak mundur (horotoyoh, gek piye iki?). Dan di situlah awal dari perjalanan yang melelahkan untukku (dan mungkin untuknya juga). Hingga tiba saatnya, hal yang paling menyakitkan dalam romantika cerita cinta (halah) : perpisahan. Ya, bulan Juni 2010, perpisahan merupakan saat yang paling menyedihkan yang pernah aku alami. Aku marah, kecewa, tak terima, dan aaarghh kenyataan macam apa ini harus aku alami. Sebenarnya aku masih ingin terus bersama apapun caranya, namun dia pasti punya alasan tersendiri untuk mengakhiri kedekatan hubungan kami. Aku pun juga harus menyadari bahwa wanita memang butuh kehadiran seseorang yang selalu ada untuknya setiap saat, sementara aku tak bisa menjadi orang itu. Dan memang kekuranganku adalah kapasitasku yang belum mencukupi untuk melangkah ke relasi yang resmi (baca: pacaran) meski kami tau antara aku dan dia masih ada rasa yang sama. Ya, aku memang harus berbesar hati, mengalah. Sampai akhirnya aku menyadari bahwa ketika cinta datang ada sisi gelap yang dibawanya. Aku tidak bisa hidup selamanya dalam sisi terangnya cinta. Dan aku pun perlahan mengundurkan diri pergi dengan membawa rasa sakit hati yang dalam karena memang salahku sendiri terlalu banyak harapan yang aku inginkan. Kalo kata lagu Queen, Too Much Love Will Kill You, dan itulah kenyataan yang aku alami. Dia pergi bersama orang lain, sedangkan aku terkapar layaknya pesakitan -ckck mengenaskan sekali aku ini- Dalam kekacaubalauan perasaan ini, aku tak lagi mampu berpikir  dengan baik, tak lagi mampu mengendalikan diri, tak lagi mampu menahan gejolak emosi karena mungkin aku ini termasuk orang yang mengagung-agungkan bahwa kekuatan cinta mampu mengalahkan segalanya, sampai akhirnya aku sendiri yang terlindas oleh cinta. Cinta oh cinta, dari dulu deritanya tiada akhir, begitu jenderal Tian Feng alias Pat Kay mengilustrasikan tentang cinta
(haha). Harusnya, aku menenangkan diri, mengolah perasaan untuk bangkit lagi atau setidaknya menyelesaikan rasa sakitku sebelum membuka relasi dengan orang lain. Kenyataannya aku melakukan kesalahan fatal yang berakibat lebih buruk dari kesalahan awal. Aku malah berpacaran dengan orang lain karena didasari pelampiasan kekecewaan dan rasa sakit hatiku. Sebuah langkah salah yang berujung masalah. Memang kadang aku jalan bareng tapi yang sebenarnya terjadi adalah aku tak tahu harus aku apakan sakit hatiku. Bagiku dengan cara demikian aku bisa mengalihkan rasa kecewa dan sakitku dan bukan menerimanya. Itu kesalahan terbesarku. Aku berpacaran ketika belum siap secara hati, perasaan, mental dan pikiran. Selama aku pacaran itu pun, tak banyak aku bercerita tentang siapa aku. Aku diam dengan harapan rasa sakitku akan hilang. Yang aku butuhkan hanya pelampiasan untuk membuang semua rasa kecewa dan sakitku. Dan itulah salahku, aku membuat orang lain jauh lebih sakit hati dengan kesakitan yang aku alami. Cukup lama aku berpacaran dalam masa pelampiasan itu, hampir setahun.  Sampai akhirnya aku sadar bahwa tindakanku adalah kesalahan yang teramat sangat besar karena aku telah membohongi perasaanku dan juga orang lain. Meskipun aku telah disakiti oleh dia yang sudah ada di hatiku, “rasa” yang aku miliki untuknya cukup besar dan aku masih saja tetap memikirkannya meski dia juga sudah punya pacar. Dan inilah kesalahan kedua, aku membohongi perasaanku sendiri. Dan bagaimanapun caranya aku harus mengakhiri pelampiasan pacaranku ini, meski aku tau aku akan dihujat dengan segala cacian dan makian. Tapi, langkah ini memang harus aku ambil. Aku tidak ingin menambah penderitaan yang terlalu lama dan lebih dalam lagi.

Akhirnya aku mengakhiri petualangan burukku. Aku tahu aku juahaat banget, karena telah menyakiti orang lain dan kalaupun ada orang yang mengatakan bahwa aku ini bajingan, brengsek, penipu, pecundang, dan segala macam kata makian sumpah serapah, aku terima. Aku sadar hal itu dan kenyataan yang aku alami memang seperti itu. Aku tak akan menolaknya dalam hidupku karena itu sudah menjadi bagian hidupku. Dan pengalaman ini memberiku begitu banyak pelajaran kehidupan. Kenapa akhirnya aku akhiri? karena aku ingin mendengarkan hatiku. Ya, hati tidak bisa dibohongi meski kita mencoba dengan sejuta cara untuk melawannya bahkan memaksanya tunduk dengan pikiran kita. Bagaimanapun juga, dia yang telah ada dalam hatiku tetap menjadi kerinduanku meski aku pernah bersama orang lain. Meski aku juga pernah disakiti, tapi kekuatan hati, perasaan, cinta mampu untuk memaafkan. Dan sampai kini pun, dia yang dahulu menjadi sumber kegembiraanku masih menjadi penghuni kediaman hatiku walapun mungkin dia sudah tak "mengingat" dan “menganggap” aku lagi. Aku pun tahu banyak yang mendekatinya ataupun dia bersama orang lain, tapi entah kenapa ya rasa yang ada dalam hati ini tak bisa untuk berakhir. Memang sih ada rasa marah, cemburu tapi aku malah semakin terbiasa dengan aneka rasa semacam itu, membuat hidupku menjadi berwarna ketika mencintai seseorang. Kalo kata orang sih, untuk melupakan cinta lama, carilah cinta yang baru. Memang benar juga sih, tapi bagiku itu tak semudah yang dibayangkan. Sulit untukku menjadi seperti itu karena aku menyadari bahwa aku termasuk orang yang mampu mencintai  seseorang dalam jangka waktu yg lama meski orang yg aku cintai tak pernah memberiku tanggapan. Toh, mencintainya saja sudah menjadi anugerah untukku, dan kalaupun dia membalasnya itu adalah bonus dan kalaupun tidak ya dinikmati saja. Buatku, mencintai seseorang itu sederhana, dia hadir dalam ketiadaan, sederhana dalam ketidakmengertian dan geraknya tiada pasti. Aku tak peduli dengan omongan orang  yang menganggapku bodoh karena mencintai orang yg tidak ada di depan mataku. Justru dalam status kebodohanku itulah aku menemukan kebahagiaanku. Untuk saat ini, biar saja aku simpan rasa ini karena aku menyadari kapasitas yang aku miliki belumlah mencukupi untuk mewujudkan rasaku. Mengatakan cinta itu gampang, tetapi membuktikan dan menunjukan cinta dalam tindakan nyata itu yang tidak gampang. Dan itulah yang menjadi pertimbanganku menyimpan "rasa" itu sampai saat ini, bahwa aku belum cukup mampu untuk selalu memperhatikan dia di manapun dia berada karena ada celah yang tak bisa aku dekatkan: jarak. Aku tak ingin mengambil resiko yg belum benar-benar bisa aku tangani. Maka dari itu, aku tetap di sini menjaga rasa itu, berharap waktu akan memberiku kesempatan untuk bisa bersamanya. Dan kalopun akhirnya waktu tak memberiki kesempatan, aku tak akan pernah menyesali telah menyimpan rasa hingga saat nanti.  Dan aku pun tak tahu, apa yang dia rasakan terhadapku. Entah apapun yang dia rasakan, rasaku masih tetap sama seperti saat aku pertama kali aku mengenalnya. Ya, aku membebaskan dia untuk menemukan jalan dan kebahagiaannya sementara aku melihatnya dari kejauhan sini selalu berdoa untuknya. Cinta yang dihayati dengan keikhlasan pada akhirnya akan membebaskan mereka yang mencintai dan dicintai.

Kembali ke topik awal. Kalo begitu, apa ya yg membuat seseorang itu mudah untuk mencari pengganti ketika ia putus dengan pacarnya? Bertolak dari pengalamanku, aku memiliki  jawaban bahwa setiap orang pasti memiliki motivasi ketika ia melakukan suatu tindakan, termasuk dalam hal ini adalah pacaran. Kalopun ada orang yang begitu mudah mencari pacar, itu bisa dimaknai dari motivasi  yang ia miliki ketika ia memutuskan untuk berpacaran, apakah hanya untuk having fun, ato memang karena kesadaran bahwa ia membutuhkan kasih sayang ato hanya untuk menaikan status sosialnya biar dinilai keren, gengsi gitu lho, jaman kayak gini gak punya pacar, haha dan masih buanyaak macamnya. Setiap orang punya alasan dan motivasi sendiri. Dan dari semua alasan motivasi itu dapat disatukan dalam penilaian arti cinta bagi masing-masing orang. Rasa dan cinta mengenal tingkatan kedalaman, dan itulah yang membedakan antara orang yang satu dengan yang lainnya dalam memaknai cinta dan mencintai. Tidak ada hal yang begitu indah ketika kita bisa mencintai tanpa harus meminta balasan untuk dicintai karena pada hakekatnya cinta adalah membebaskan, walaupun ada banyak alasan untuk menderita, namun kekuatan cinta mampu mengatasinya. Aku pun tak begitu memahami apa itu cinta, tapi aku hanya bisa merasakan dan menikmatinya. Itu saja sudah cukup bagiku. Lalu, jika semua yang kita lakukan sudah dilandasi cinta, apakah ada yang bisa mengalahkan cinta? Ah, tampaknya semakin lama semakin muter-muter saja. Ya sudahlah, aku cukupkan cerita ini sampai di sini. Tunggu cerita saya selanjutnya.

9 Agustus – 10 Agustus 2012
23.36 – 01.45
antara batas kesadaran dan ketidaksadaran,
masih ada rasa di antaranya.

The Jesuit Way




 Hidup dalam “Tegangan”

Buku berukuran kecil karangan William Barry dan Robert Doherty ini berisi tentang bagaimana memperkenalkan landasan spiritual dalam karya Sarekat Jesus. Buku ini sengaja ditulis untuk memenuhi hasrat para pecinta St. Loyola yang merindukan sentuhan magis-nya. Buku berisi mengenai gambaran ordo Jesuit hidup di masa kini yang sarat akan tantangan zaman. Terhadap perubahan dunia yang mempengaruhi kehidupan manusia zaman ini, sikap yang ditekankan oleh Jesuit ikut hidup di dalamnya dengan berpegang pada prinsip-prinsip dalam Konstitusi. Bisa dikatakan bahwa sikap yang diambil Jesuit ini diterapkan dalam wewarah Jawa yang berbunyi, Ngeli ning ora keli. Mengapa bisa dikatakan begitu?
Lebih ringkasnya, buku ini menggambarkan bagaimana Jesuit menghidupi spiritualitas Ignasian dalam karya mereka di tengah “tegangan” dunia ini. Yang dimaksud dengan tegangan di sini adalah persoalan-persoalan sosial yang ada masyarakat dunia. Persoalan persoalan ini mempengaruhi bagaimana Jesuit dalam bertindak menyikapi persoalan itu. Persoalan itu contohnya; Sarekat Jesuit adalah sebuah ordo dalam susunan hirarki Gereja Katolik, lumrahnya ordo waktu itu adalah kelompok imam yang berdiam di satu tempat (stabilitas loci) layaknya pertapaan-pertapaan yang sudah ada. Namun, para Jesuit awal -Ignatius dkk.- “mematahkan” tradisi sebuah ordo waktu itu. Mereka tidak mengikatkan diri dengan kehidupan biara. Mereka adalah petualang Kristiani yang berusaha menyebarkan Injil ke penjuru dunia Contoh lagi situasi kebudayaan waktu itu, kaum wanita belum memiliki kedudukan yang patut dihormati dalam masyarakat. Tetapi para Jesuit melayani mereka seperti mereka memberikan pelayanan umat pada umumnya. Lebih lanjut lagi, dalam buku disebutkan ada tujuh macam tegangan.
Pertama, tegangan antara sikap percaya pada Allah dan kemampuan diri sendiri. Tegangan ini memiliki dua sisi, yakni Jesuit mempercayakan seluruh hidupnya hanya pada Allah, di sisi lain ia ditantang untuk total menggunakan apa yang ada dalam dirinya untuk melaksanakan kehendak Allah. Kedua, tegangan antara doa dan karya. Lewat doa Jesuit berusaha menemukan apa kehendak Allah itu sedangkan lewat karya ia berusaha melakukan kehendak Allah dengan kepenuhan diri. Ketiga, tegangan antara persahabatan dan tugas perutusan. Tugas perutusan dimaknai oleh Jesuit sebagai sarana untuk membuka jalinan persahabatan yang lebih dalam kendati ia harus berpisah dengan sahabat lamanya. Dengan meninggalkan sahabat lamanya, Jesuit akan menemukan makna persahabatan yang erat dan ia akan hidup dengan orang baru dengan misi “penyelamatan jiwa-jiwa”. Keempat, tegangan antara ketaatan dan nilai belajar dari pengalaman. Tegangan ini adalah wujud nyata bahwa Jesuit membuka diri dengan lingkungan di mana ia berada. Lebih dalam lagi, tegangan ini adalah bentuk sikap perjuangan menghadapi tantangan luar. Kelima, tegangan antara berada di pusat dan di pinggiran Gereja. Tegangan ini menggambarkan Jesuit yang mengakui kekuasaan Paus atas keberadaannya. Hal ini mendorong Jesuit untuk tidak hanya berdiam di “dekat” Paus saja, namun bergerak terlibat dalam karya perutusan murid Yesus. Keenam, tegangan dalam penggunaan barang-barang duniawi. Tegangan ini secara nyata termuat dalam Latihan Rohani no. 23 mengenai Asas dan Dasar. Tegangan ini menuntut sikap lepas bebas seorang Jesuit dalam menggunakan barang yang ada di sekitarnya. Ketujuh, tegangan dalam penghayatan kemurnian hidup. Tegangan ini adalah sebuah tantangan seorang Jesuit dalam mengaktualisasikan dirinya di dalam kehidupan yang serba relatif ini. Akhirnya melalui ketujuh tegangan yang ada dalam hidup seorang Jesuit ini akan membawanya menemukan Allah dalam segala. Menemukan Allah dalam segala adalah sebuah hasil permenungan yang dalam Jesuit dalam pemaknaan karyanya dengan mengandalkan sikap percaya pada kehendak Allah.





2 Inspire U




 “Kesempurnaan tubuh dan kemudahan bukanlah jaminan untuk sukses. Sebaliknya, cacat tubuh atau kekurangan juga bukan halangan untuk sukses. Berhasil tidaknya seseorang dalam hidupnya ditentukan oleh motivasi.” Demikianlah perkataan salah seorang motivator yang saya yakini kebenarannya. Kualitas ataupun kesuksesan tidaklah ditentukan dari faktor luar dari diri kita, entah itu keadaan fisik tubuh kita, penampilan diri, dll. melainkan sangat ditentukan oleh faktor internal dalam diri kita, seperti keyakinan diri, mentalitas diri, motivasi kita, keberanian kita dsb.
Buku 2 Inspire U (baca: to inspire you) menawarkan pada kita untuk menggunakan motivasi kita untuk mendapatkan kualitas diri yang baik. Sadar atau tidak kita sebagai manusia memiliki kekuatan yang besar dalam diri kita, yakni motivasi. Sayang, kadangkala kita kebanyakan masih berada dalam tataran belum sadar bahwa kita memiliki kekuatan yang dahsyat itu. Kadang kita menilai diri terlalu lemah dibandingkan orang-orang yang memiliki bakat, talenta yang menonjol daripada kita. Kita sering memandang kualitas diri dengan pokok penilaian dari yang tampak dari mata. Dengan kata lain, penilaian kualitas diri sering berdasar hal-hal fisiknya, entah kemampuan bermusik, keahlian dalam olah raga, ketrampilan berbicara di depan umum, dll. Sebenarnya penilaian seperti ini belumlah dapat dikatakan sepenuhnya benar. Mengapa? karena kualitas diri itu tidak selalu tampak dari luar karena kualitas diri itu bersumber dari dalam diri. Seperti apakah dalam diri kitalah yang lebih menentukan kualitas diri kita. Ketekunan, kesetiaan, semangat rela berkorban, kemandirian, kepekaan adalah contoh-contoh kualitas diri yang tidak tampak dilihat dengan mata namun dapat dirasakan. Sekali lagi, kualitas diri tidaklah selalu bisa diukur dengan kemampuan luaran (fisik) kita namun berasal dari dalam diri yang efeknya akan nampak dalam hidup keseharian kita.
Lalu bagaimana kita memulai membentuk kualitas diri yang baik seperti itu? salah satu cara yang ditawarkan oleh buku 2 Inspire U adalah memulainya dengan motivasi kita. Dalam usaha membentuk kualitas diri yang baik sangat ditentukan oleh motivasi. Motivasi adalah daya penggerak diri yang memampukan kita meraih apa yang kita inginkan. Motivasi melebihi kemampuan fisik kita. Daya yang dikeluarkan oleh motivasi itu begitu besar sehingga apapun yang kelihatannya mustahil dapat dilakukan akan terlaksana jika motivasi kita sudah bulat. Hanya yang perlu diperhatikan adalah jangan sampai motivasi yang kita gunakan melenceng dari tujuan karena bisa saja berbuat sesuatu karena motivasi yang semu. Motivasi semu adalah motivasi yang tidak mendukung perkembangan diri dan cenderung menjauhkan diri dari kualitas diri yang baik. Untuk dapat menilai apakah motivasi kita sudah sesuai dengan tujuan kebaikan kita atau belum adalah dengan melihat efek nyata dari motivasi itu, yakni apakah kita semakin berkembang atau sebaliknya, malah membuat diri kita jauh dari tujuan semula.
Sebagai penutup ringkasan buku ini, saya akan mengambil benang merahnya. Kualitas diri tidaklah ditentukan oleh kemampuan fisik kita, melainkan dari dalam diri kita. Memang kemampuan dalam diri kita tidak dapat dilihat secara mata namun dapat dilihat dari kehidupan keseharian kita. Apa yang ada di dalam akan memancar keluar melalui sikap dan tindakan kita setiap harinya. Dan untuk membentuk kualitas diri yang baik adalah memulainya dari motivasi kita melakukan usaha pengembangan diri. So, pemilihan motivasi adalah hal yang sepele namun efeknya besar bagi kualitas diri.

Trilogi Neraka Kamboja




Try to Survive Whatever You……
Kengerian. Mungkin kesan pertama inilah yang akan pembaca dapatkan ketika membaca novel Neraka Kamboja karangan Haing Ngor. Saya sendiri merinding ngeri saat membaca novel tersebut. Karakter cerita yang dibangun oleh sang pengarang memang memunculkan kesan yang amat menakutkan dan itulah yang membuat saya merasa ngeri membayangkan kisah itu seandainya terjadi dalam hidup saya.
Novel Neraka Kamboja adalah kisah nyata  sang pengarang sendiri (Haing Ngor) ketika hidup di masa rezim komunis di bawah pimpinan Pol Pot berkuasa di Kamboja (1975-1979). Kisah Haing Ngor ini tersusun atas 3 jilid yang kesemuanya adalah satu kesatuan. Jilid pertama adalah Awal…Jilid kedua berjudul Siksa dan Derita dan yang terakhir berjudul Pembebasan. Lalu kisahnya sendiri seperti apa? Untuk mengisahkannya dapat saya sampaikan sebagai berikut.
Buku pertama : Awal
Buku pertama mengisahkan kehidupan Haing Ngor ketika rezim komunis belum menguasai pemerintahan di Kamboja. Ngor adalah seorang dokter yang memiliki klinik pribadi di mana ia bekerja. Ngor berasal dari keluarga yang mampu sehingga kebutuhannya selalu tercukupi. Ngor dan keluarganya tinggal di lingkungan kota yang sudah maju. Masyarakatnya pun sudah mengenal kemajuan teknologi. Sebagai orang yang sudah berumur untuk menikah, Ngor sudah berencana untuk menikahi salah seorang teman wanitanya, Huoi. Huoi sendiri berasal dari keluarga yang ekonomi bisa dikatakan bawah. Memang muncul rasa ketidakterimaan dari keluarga Ngor, namun mereka bisa menerimanya. Ngor dan Huoi sudah sepakat untuk segera melangsungkan pernikahannya. Sayang, ketika mereka akan menunggu waktu itu tiba, kelompok komunis yang menamakan dirinya sebagai Khmer Merah merebut tampuk pemerintahan Kamboja sehingga mereka berkuasa atas negara Kamboja. Khmer Merah ini dipimpin oleh Pol Pot, seorang tokoh komunis yang terkenal akan kekejamannya membantai ribuan penduduk Kamboja.
Dari buku pertama ini, kalau saya renungkan, mau menggambarkan dalam keadaan yang nyaman dengan segala fasilitas yang lengkap seseorang bisa memenuhi apa yang menjadi mimpinya. Ia akan memperoleh kemudahan mencapai mimpinya karena didukung dengan peralatan yangmembantu. Selain itu, kondisi yang nyaman turut serta dalam menyukseskan misinya mencapai mimpi dan tujuannya. Kondisi yang nyaman memungkinkan seseorang merasa aman untuk mendapatkan apa yang ia impikan. Intinya kenyamanan membuat orang mudah dalam mendapatkan apa yang ingin ia dapatkan.
Buku Kedua: Siksa dan Derita
Buku kedua lebih mengisahkan dampak-dampak bagi rakyat Kamboja ketika rezim komunis berkuasa.  Rezim komunis Khmer Merah beranggotakan orang-orang yang sebenarnya tidak tahu mengenai urusan mengatur negara karena umumnya massa pergerakan komunis Kamboja berasal dari buruh dan golongan petani atau gelandangan-gelandangan.  Kebijakan-kebijakan ekonomi Khmer Merah (dalam novel ini disebut Angka) membawa kemerosotan ekonomi negara Kamboja. Penduduk kota dipindahkan ke desa-desa untuk bekerja sebagai petani sesuai ajaran komunis untuk mewujudkan masyarakat yang cinta kerja. Termasuk juga Ngor dan keluarganya beserta keluarga Huoi tunangannya. Mereka dipaksa untuk bekerja sebagai petani selama lebih kurang 8 jam. Bayangkan mereka hanya memiliki waktu istrirahat 4 jam dalam sehari! Kondisi kesehatan rakyat pun tidak terperhatikan. Ngor sendiri terserang penyakit Hepatitis C yang amat menyiksanya. Ngor juga pernah dibawa ke kamp konsentrasi yang digunakan untuk menginterogasi musuh-musuh Pol Pot. Tiga kali ia masuk kamp dan tiga kali pula ia selamat. Selama ia mendekam di kamp itu ia menjumpai berbagai peristiwa yang tidak berkemanusiaan. Ia pernah digantung di salib yang bawahnya ada sekam yang menyala. Jari manisnya pun dipotong dengan bersimbah darah. Ia juga melihat pembunuhan wanita yang sedang hamil dengan tidak manusia. Ia menjadi bertanya-tanya bagaimana mungkin orang sebangsanya bisa melakukan tindakan sekeji itu? apakah yang ada dalam doktrin komunis itu sehingga menghilangkan nilai-nilai kemanusiaan?

Genduk Duku



Genduk Duku, Dunia Penuh Kejutan

            Buku ini adalah lanjutan cerita dari buku Roro Mendut. Sepeninggal Roro Mendut, Genduk Duku -abdi Roro Mendut- pergi mencari tempat berlindung dari kejaran Tumenggung Wiraguna ke pesanggrahan Bendara Pahitmadu, yakni kakak kandung Tumenggung Wiraguna. Bendara Pahitmadu adalah salah seorang yang bersimpati kepada Roro Mendut  atas keteguhan hatinya mempertahankan cintanya pada Pranacitra. Genduk Duku tinggal selama beberapa hari di pesanggrahan Bendara Pahitmadu. Kemudian, Genduk Duku memutuskan untuk melanjutkan perjalanannya menuju Pekalongan, yakni memberitahukan kematian Pranacitra kepada Nyai Singabarong -ibu Pranacitra-. Karena kemalaman, Genduk Duku pun menginap di rumah sepasang petani yang sudah agak tua, yang bernama Ki Legen dan Nyi Gendis. Ki Legen dan Nyi Gendis menyarankan untuk menunggu sampai keadaan benar-benar aman karena prajurit  Mataram masih berkeliaran mencari pengikut Roro Mendut.
            Setelah keadaan mereda, Genduk Duku pun melanjutkan perjalanannya. Sesampainya di Pekalongan, segera ia menyampaikan berita kematian Pranacitra dan Roro Mendut kepada Nyai Singabarong. Nyai Singabarong amat tersentuh mendengar penuturan Duku. Meskipun ia sendiri belum melihat Roro Mendut, ia yakin bahwa Roro Mendut adalah seorang gadis memiliki keteguhan hati yang kuat dan seorang yang tegar. Genduk Duku pun bersiap melanjutkan perjalanannya ke Telukcikal, daerah asal Roro Mendut. Tujuan Genduk Duku adalah memberitahu kepada siwa kakung putri pengasuh Roro Mendut dahulu. Atas saran Nyai Singabarong, yakni demi menjaga keselamatan Genduk Duku, Duku pun dititikan pada seorang nelayan Pati yang sedang singgah di Pekalongan. Kebetulan nelayan itu adalah murid dari siwa yang mengasuh Roro Mendut di Telukcikal. Tak dinyana dan tak pernah diduga, ternyata nelayan itu mirip sekali dengan Pranacitra dari segi wajah dan perangai, hingga usianya. Hanya saja, nelayan muda yang bernama Slamet itu lebih gelap kulitnya dan nampak kekar badannya.
            Mendengar penuturan Duku, hati siwa sangatlah sedih, namun ia hanya bisa berpasrah dan berserah diri karena ia hanya menjalankan kersaning Hyang Akarya Jagad. Atas nasehat dari siwa kakung putri pula, Genduk Duku dan Slamet diperjodohkan untuk meneruskan garis keturunan para elang pelaut pantai Pati yang gagah berani.
            Dua musim sudah berlalu dan Duku belum merasakan alam kebebasan dari cengkeraman prajurit Mataram yang setiap saat beroperasi. Maka diputuskanlah bersama Slamet untuk keluar dari wilayah Kerajaan Mataram. Mereka berencana untuk merantau ke tanah Gunung Jati Cirebon yang secara politis dan ekonomi berseberangan dengan Mataram. Sebelum berangkat menuju Cirebon, Slamet dan Duku pergi dahulu ke tanah Jepara untuk mengorek informasi kepastian di mana tanah Cirebon itu kepada salah seorang teman Slamet. Sayang sekali, Jepara sebagai gerbang utama kelautan Mataram tengah dilanda ketegangan dengan kapal dagang Pe-O-Se (VOC). Mereka pun harus berhati-hati karena pengawasan dari pihak Mataram sangat ketat.
            Selamatlah Slamet dan Duku mendarat di pinggiran Jepara. Namun, nasib malang memang tidak jauh dari mereka. Mereka tertangkap oleh seorang dukuh setempat. Mereka pun dijadikan tawanan sebagai pengawal logistik bersama para tawanan Belanda ke pusat Mataram. Perjalanan kembali ke Kerta harus dilalui oleh Duku untuk kedua kalinya. Karena kondisi fisik Duku yang sering sakit-sakitan, Slamet dan Duku pun diberhentikan di gerbang timur kotapraja, di daerah Taji. Mereka membangung rumah di situ. Atas kehendaknya sendiri, Duku sowan kepada Bendara Pahitmadu yang telah berjasa dalam hidupnya dan Putri Arumardi-salah seorang selir Wiraguna- yang bersimpati kepada Roro Mendut.
            Sementara di belahan kotapraja lainnya, di dalem kedaton sedang terjadi kehebohan yang besar.  Raden Mas Jibus alias Raden Mas Sayidin alias Raden Mas Rangkah membuat geger istana karena kenakalannya melanggar batas kesusilaan waktu itu. Mas Jibus gemar bersenang-senang dan bermain wanita, padahal ia masih remaja. Para sesepuh kerajaan amat menyayangkan perangai putra mahkota itu. Sebenarnya dari segi bebet, bobo, dan bibit yang pantas mendapatkan gelar putra mahkota adalah Pangeran Alit. Tetapi, karena Mas Jibus adalah putra Permaisuri Kanjeng Ibu dari Batang, maka yang dialah yang diangkat menjadi Pangeran Aria Mataram sebagai calon pengganti Sultan Agung Hanyakrakusuma, ayahandanya.
            Adalah Tumenggung Wiraguna sepeninggal Roro Mendut belum sembuh “penyakitnya”. Kali ini ia memungut seorang dara muda putri pengulu di Imogiri bernama Tejarukmi.
            Suatu hari, Mas Jibus berkunjung ke puri Wiragunan. Ia pun tertarik untuk memiliki dan merebut Tejarukmi dari tangan si tua Wiraguna. Mas Jibus melancarkan penculikan terhadap Tejarukmi. Usaha itu berhasil digagalkan oleh Duku dan Slamet. Maka atas saran dari Putri Arumardi, maka Slamet dan Duku diberi kepercayaan untuk menjaga keberadaan Tejarukmi. Mas Jibus tak kenal menyerah, dengan memanfaatkan jamuan setelah setonan, ia menculik Tejarukmi untuk kedua kalinya. Usaha Mas Jibus ini sebenarnya tidaklah sia-sia karena Tejarukmi juga menaruh rasa pada Mas Jibus daripada Wiraguna.
            Atas peristiwa itu, Wiraguna pun menghasut Pangeran Alit untuk melaporkan kejadian memalukan itu kepada Susuhunan Hanyakrakusuma. Mendengar laporan itu, marahlah ia dan Mas Jibus dihukum tidak boleh keluar istana dan harus berguru pada Tumenggung Singaranu. Selama hukuman itu pula, Sultan Agung tidak mau bertatap muka  dengan Jibus.
            Terhadap Tejarukmi, Sultan Agung memutuskan hukuman mati kepadanya dengan dakwaan perzinahan. Dan yang melaksanakan hukuman itu adalah “pemiliknya” sendiri, Wiraguna. Sekembalinya dari tempat penculikan, Wiraguna berlari menghunuskan kerisnya kepada Tejarukmi yang sudah dipersiapkan dengan pakaian serba putih. Demi menyelamtkan nyawa sang putri, Slamet berusaha mencegah Wiraguna. Tembuslah dada Slamet terkena hunusan keris Wiraguna. Menyaksikan hal itu, histerislah Duku dan bangkitlah dendam kesumatnya dengan Wiraguna. Duku pun berusaha menerjang Wiraguna, namun ia dihalangi oleh pengawal Wiraguna.
            Sungguh berat hidup Genduk Duku, setahun setelah kehilangan puannya, Roro Mendut, kini ia harus berpisah dengan belahan jiwanya. Ia hanya memiliki buah hatinya yang masih kecil bernama Lusi Lindri. Lusi Lindri inilah yang akan meneruskan perjalanan kehidupan Genduk Duku nantinya.